BAGIAN 4

1.1K 254 46
                                    

META.

DIHUBUNGI

Kenyang. Itulah yang terjadi saat makan melebihi takaran yang ada. Bagiku, makan sepiring nasi ditambah ayam goreng, tumis kangkung, sambal, kerupuk, juga lalaban pada malam ini adalah makanan paling enak yang pernah kucoba. Nggak ada aturan harus makan ini dan makan itu. Semuanya dipilih sesuai selera. Menyebalkannya, aku malah ingat Bapak jika ada hal-hal yang berhubungan dengan makanan.

Bapak apa kabar? Apakah Bapak masak malam ini? Aku nggak yakin dia tetap masak. Apalagi, anak yang selalu dia jaga a.k.a kekang, nggak ada di rumah. Mungkin Bapak sedang stres mikirin anaknya yang pergi begitu saja tanpa kabar.

Aku yang sedang terbaring di kasur, kini bangun, kemudian mengambil ponsel yang sudah kosong dari masa lalu. Nggak ada chat, nggak ada pesan, nggak ada telepon. Itu kan yang kumau? Sudah kesampaian. Meskipun aku merasa bahwa bebanku makin besar. Orang-orang yang bertumpu terhadap konten-kontenku di Instagram pasti menunggu.

Aku memilih membuka aplikasi instagram. Jujur, aku mereset semua data nama dan sandinya saat itu. Terpaksa, aku kembali logn in demi melihat aktivitas di aplikasi itu. Ya, meski berniat untuk istirahat, setidaknya aku tetap memantau akun tersebut.

Kamu tahu apa yang terjadi?

Terdapat ratusan DM yang masuk. Rata-rata, DM itu menanyakan konten terbaru. Fyuh, kadang aku suka kesal dengan diri sendiri. Disaat orang lain bertumpu terhadap apa yang kubuat, kenapa aku sendiri malah sedang mencari arah lain?

"Kak, kontennya keren. Aku yang kemarin mau bunuh diri jadi tersadarkan karena konten Kakak. Semoga Kakak nggak bosen untuk selalu membuat konten-konten positif."

"Kak, konten terbarunya kapan? Biasanya tiap hari ada konten self improvement?"

"Kak, tumben nggak ada konten baru. Kakak nggak kasihan sama aku yang nunggu?"

Itu adalah sebagian dari ratusan DM. Dan aku terenyuh. Kamu lihat 'kan? Mereka begitu mengharapkan kehadiranku di instagram. Sementara, aku malah sedang ada di titik paling bawah. Aku kabur dari Bapak, kabur dari media sosial, kemudian memilih menyendiri di kamar kos ini.

DM-DM itu terus aku cek meskipun nggak aku balas. Sampai akhirnya, aku melihat DM dari akun Sandrina. Aku tahu dia sudah lama nggak pakek IG pribadi karena ngurusin IG-ku. Sekarang, mungkin terpaksa, dia mengirimiku pesan menggunakan akun pribadinya.

Ternyata kamu nggak becanda, Met? Kukira masalahnya nggak sebesar ini. Kamu benar-benar ngilang! Semua akses untuk menghubungi ditutup. Terus sekarang aku mesti gimana? Bapakmu sudah nelepon aku lebih dari 10 kali dalam waktu dua jam. Terus brand yang sudah kerjasama sama kamu, mewanti-wanti agar bisa dipromosikan di akun IG-mu.

Duh, Met. Kenapa sih, kamu malah kayak gini? Kalau perlu istirahat, oke. Nggak masalah. Tapi jangan sampai bikin semua orang cemas! Apalagi ninggalin beberapa produk edukasi yang musti dipromosiin. Kalau sampai semuanya nggak dikerjain, kepercayaan mereka bakal luntur. Kita bakal ganti rugi karena uang juga udah terlanjur masuk.

Plis, Meta. Pikirin baik-baik. Kamu nggak bisa ngelakuin semuanya sepihak kayak gini. Kamu harus berkompromi dong! Lagian, kamu aneh banget. Hobimu baca buku edukasi. Sering juga ikut kelas-kelas motivasi. Tapi masa sih, kamu udah nyerah? Ya, aku nggak tahu masalah kamu yang sebenarya. Tapi, come on, semuanya bisa dibicarain!

Kalau kamu baca DM ini, segera balas aku ya. Aku nggak mau tahu. Kamu harus segera ngasih kejelasan. Kalau enggak, mungkin kamu akan nyesel seumur hidup.

Bye, Sandrina.

Tuh kan, jiwa penasihat Sandrina muncul lagi! Kenapa aku malah buka IG sih? Kalau nggak buka IG, mungkin aku nggak bakal mikir lagi buat hubungin mereka. Tapi ya, omongan Sandrina ada benarnya juga. Masa aku pergi gitu aja? Masa nggak ada kejelasan sama sekali? Apalagi ada hubungannya dengan kerjaan yang nggak mungkin ditinggalkan.

Apa aku balas aja DM Sandrina?

Baiklah. Untuk kali ini, aku nggak bisa main-main. Apalagi ada ancaman dari Sandrina. Dia bukan tipe orang yang bisa diajak becanda.

Drin, sorry baru ngabarin. Aku baik-baik aja. Aku ada di suatu tempat yang aman. Saat ini, aku sedang nenangin diri. Jadi ya, aku mohon kamu ngerti.

Soal kerjaan, aku bakal mulai kerja lagi besok. Kamu nggak usah repot-repot editin konten aku. Mulai sekarang, aku akan berusaha handle semuanya dulu sendiri. Kamu tenang aja, semuanya aman. Tapi aku belum bisa ngasih nomorku. Ya, kita bisa komunikasi lewat IG aja.

Untuk Bapak, tolong sampaikan ke dia kalau aku baik-baik aja. Bilang ke dia kalau aku sekarang nggak pakek nomor. Jadi dia nggak akan minta-minta nomor lagi. Bilangin juga, kalau sudah siap, aku bakal hubungin dia.

Thanks ya udah jadi teman yang selalu ngingetin. Cuma untuk masalah ini, hanya aku yang ngerti. Jadi, aku mohon supaya kamu bersabar buat ikutin alurnya. Yang penting, aku baik-baik aja dan kerjaan juga aman.

Bye Sandrina. Oh iya, selagi kamu nggak ngurus konten IG-ku, kamu urus IG-mu gih. Udah mulai buluk kan? Seenggaknya, kamu nggak perlu terlalu sibuk ngurusin aku.

Itu balasan DM untuk Sandrina yang sudah seperti cerpen. Ya, pada akhirnya aku harus tetap berkompromi. Tadinya, aku ingin benar-benar istirahat dari segala hal. Namun, nggak semudah itu buat jadi diri sendiri kan? Aku harus tetap lalui prosesnya. Yang terpenting saat ini, aku sudah hidup sendiri, mandiri. Aku bisa melakukan sesuatu yang kumau.

Sekarang, aku dikagetkan dengan suara HP yang berdering. Jelas aku mengerutkan kening. Siapa yang menelepon? Aku kan ganti nomor. Aku juga nggak pernah ngasih nomor ke siapa pun selain kepada pemilik kos untuk kebutuhan data.

Aku melihat deretan nomor baru di layar. Sepertinya, memang Ibu kos yang menelepon.

Tanpa pikir panjang, aku mengusap ikon hijau di layar ponsel.

"Hallo, Bu ...."

"Bu, Ba, Bu, Bu ...." Suara berat seseorang terdengar dari seberang sana. "Saya Gaya. Ini Meta kan?"

Mendengar pengakuan itu, badanku langsung lemas. Sial. Nggak hanya di dunia nyata dia hadir, bahkan dia juga menjarah nomorku dari Ibunya sendiri.

"Ngapain nelepon aku? Siapa yang ngizinin kamu nyimpan nomor ini?"

Tawa renyah Gaya terdengar dari seberang sana. "Kamu lupa? Saya itu penjaga kosan, Meta. Saya pasti punya nomor seluruh anak kos. Gimana sih kamu ...."

Benar juga kata Gaya. Tapi, tetap saja aku merasa jika privasiku terganggu. Orangtua aku dan Sandrina saja nggak tahu nomorku. Terus tiba-tiba, ada cowok yang nelepon dengan alasan dia adalah penjaga kos. Ini pasti sekalian modus kan?

"Saya mau ngajak kamu jalan besok sore. Mau?"

"Aku sibuk. Jadi nggak bisa!" tegasku.

"Ayolah, Met. Kamu pasti butuh belanja keperluan kan? Saya siap antar kamu ke mana aja!"

Aku menekan dada yang mulai mendidih. Dasar toksik! Tadi, aku masih bisa sabar dengan tingkahnya. Aku pikir, dia yang menemani makan adalah hal yang wajar. Sekalian kenalan untuk pertama kali. Tapi saat ini? Kayaknya dia sengaja terus-terusan gangguin aku.

"Udah ya, Gay. Jangan pernah hubungin aku. Dan buat besok, aku sama sekali nggak mau jalan sama kamu. Kamu pikir, aku anak kecil? Apa pun yang aku lakukan, semuanya bisa beres tanpa bantuan kamu!"

Aku menutup telepon secara sepihak. Enak saja ngajak ini itu sama aku. Dia pikir, aku bakal langsung mau? No way! Aku nggak segampang yang dia kira.

***

Aduh, si Gaya makin meresahkan yess :D Menurutmu, cowok seperti itu harus digimanain yaaa?

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now