25. LUPAKAN

60 32 6
                                    

"Melepaskan perasaan ini, sama saja dengan membiarkan separuh duniaku pergi. Maaf, aku tidak mampu melakukannya. Aku memang sangat egois."

****

Sesekali Amanda mengecek ponsel sambil menyetir. Ia sungguh khawatir. Dua puluh menit yang lalu, Yoan menelepon. Hanya menyapa saja, pria itu tak banyak bicara. Namun, ia tahu semua sedang tidak baik-baik saja dari suara serak pria itu. Ia pun memutuskan untuk menghampirinya.

Ia keluar dari mobil ketika sampai di depan kafe R&D—kafe milik Echa dan adik-adik. Kafe itu terlihat gelap sekali, tetapi pintu depannya terbuka. Ia bergegas masuk, dan mencari sakelar di dinding dekat pintu.

Ketika lampu berhasil dinyalakan, ia terkejut melihat Yoan duduk sambil memeluk lutut, dan menunduk di bawah salah satu meja. Ia berlari, lalu duduk di lantai sambil memandangnya sedih.

Apa yang telah terjadi?

"Yoan .... Ini gue." Amanda berucap pelan. Ia takut sekali melihat kondisi pria ini.

Yoan mengangkat wajah, ia menoleh, memandang Amanda dengan mata yang sembap. "Kak, apa gue salah?"

"Salah kenapa, Yoan?" tanyanya lembut. Ia menatap penuh rasa empati. 

"Gue bilang ke orangtua gue, 'Ibu, Ayah, Yoan mohon, jangan pernah lagi mengambil sesuatu hal yang sudah kalian buang', gue salah, ya?" Setelah mengatakan itu, air matanya menetes. Ia menatap gadis di hadapannya, dengan tatapan mengharap jawaban.

Amanda terdiam sejenak, ia hampir tak bisa berkata-kata. "Enggak, yang lu bilang udah benar." Ia tersenyum tipis, menguatkan.

"Tapi mereka malah nyiram gue, Kak." Ia menurunkan kaki, memperlihatkan baju putihnya yang dipenuhi noda merah. Ia memeluk kedua kakinya kembali, menyembunyikan wajah di sana. "Gue tahu, dari dulu gue tertolak dan gak diinginkan."

Isakan kecil mampu terdengar jelas oleh Amanda, di tengah suasana yang sunyi. Rasanya Amanda ingin menangis, tetapi ia harus menahannya. Seharusnya, ia lebih kuat, karena Yoan percaya dan membutuhkannya. "Yoan ... kita duduk di kursi, ya? Lu keluar dulu."

Yoan menggeleng kecil. Ia memandang Amanda. "Gue takut, Kak."

"Yoan, ada gue di sini." Amanda menatapnya dalam. "Mungkin beberapa orang membuat lu merasa ditolak, dan gak diinginkan ...," ia memberi jeda pada ucapan, "tapi lu harus tahu, gue bakal selalu menerima lu, karena gue butuh lu," katanya sungguh-sungguh.

Senyuman kecil terukir di bibir Yoan. "Kak, waktu kecil gue krisis kepercayaan diri, tapi Kak Echa selalu dukung gue untuk nyingkirin itu. Apalagi gue laki-laki yang tertua." Pikirannya mengenang jauh ke masa silam, membuat mata sedihnya semakin meredup. "Waktu itu gue lihat teman-teman gue dibangga-banggain dan disayang orangtua mereka, karena mereka berprestasi." Ia tertawa kecil, terlihat sendu. "Semenjak itu, gue berjuang keras belajar, jadi atlet, kerja jadi model ... dengan sedikit harapan orangtua bisa bangga dan mau terima gue, kalau jadi anak yang berprestasi."

"Lu hebat, lu udah berjuang keras sampai sejauh ini."

"Meski gue sudah melakukan semuanya, orangtua gue tetap gak melirik gue," katanya. "Akhirnya, setelah sekian lama, baru tadi mereka menerima, bahkan memperebutkan gue." Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan. Ia memandang Amanda hampa. "Tapi yang mereka terima itu, bukan diri gue. Mereka hanya menerima kelebihan gue, yang menguntungkan untuk mereka. Bahkan, mereka mengelompokkan, dan mau memisahkan kami."

Mata Amanda berkaca-kaca. Bagaimana bisa manusia seperti itu disebut orangtua?

"Yoan, lu bisa, 'kan, bertahan dan berjuang untuk orang-orang yang tulus sama lu? Jangan berharap sama yang lain?" tanya Amanda dengan tangan mengepal. Ia sudah tidak tahan lagi. Memang, ketika seseorang mencurahkan isi hati tentang masalah mereka, kita yang mendengar turut tertekan, apalagi kita sangat peduli terhadap orang tersebut. Rasanya ... sakit. "Lu masih punya banyak orang di sekitar, yang benar-benar menerima dan gak bakal ninggalin lu."

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang