58. Menjaga Perasaan

61 28 4
                                    

"Aku hanya sedang berusaha menjaga perasaanmu. Tidak bertanya, tidak menyinggung, tidak membahas ... aku mencintaimu dan takut kamu terbebani karenaku."
***

Salah satu ruangan di belakang rumah sakit, dan terletak sedikit terpencil, terlihat sangat bersih dan rapi. Ruangan itu diberikan untuk para dokter muda—bebas mau mereka apakan—, dan tentu saja mereka menjadikannya ruangan yang nyaman untuk beristirahat seperti kamar. Apalagi untuk para coass yang jaga malam, kamar seperti ini dibutuhkan, meski mereka boleh ke sini di atas pukul dua belas malam.

Seperti saat ini, jam menunjukkan pukul satu malam. Echa memasuki ruangan tersebut, dan langsung duduk di kursi sebelah tempat tidur tunggal. Ia memijat kepala yang pusing, menyandar, sambil memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, ia tertidur begitu saja.

Tak lama, Daniel memasuki ruangan dengan selimut di tangan. Ia tersenyum melihat wajah teduh Echa yang tertidur damai. Tanpa pikir panjang, ia segera menyelimuti tubuh gadis itu.

Echa tersentak, ia terbangun. "Eh, lu, Dan." Ia menutupi mulut yang menguap.

"Kenapa gak tidur di sana?" tanya Daniel menunjuk tempat tidur.

"Ntar malah keenakan sampai pagi," jawabnya malas. "Udah sibuk, gak kerja-kerja karena kuliah melulu, miskin ... kenapa gue ambil jurusan ini?" keluhnya dengan tawa kecil.

Daniel turut tertawa. "Lu tidur aja. Nanti kalau ada apa-apa, gue yang tanggung jawab." Ia semakin tertawa karena mendapat tatapan tajam dari Echa. "Oya, sampai sekarang lu masih belum cairin cek itu?"

"Gak enak gue, maaf, Dan," jawabnya tak enak.

"Kalau begitu, gue masih punya utang hadiah pernikahan, dong?" Ia berjalan menuju dispenser di sudut ruangan, dan mulai membuat kopi. "Gue ganti apa, Cha?"

Selimut yang menyelimutinya tadi, dilipat oleh Echa. Ia mengurungkan niat untuk beristirahat, apalagi tidur. Meski ia percaya dengan Daniel, tetapi berdua saja dengan pria itu membuatnya tak enak. Apalagi bayangan cobaan malam pertama ia dan Egi waktu itu, menjadikannya sangat berhati-hati untuk menjaga perasaan suaminya.

Satu hal lagi, ia merasa Daniel masih menyukainya. Entahlah.

"Lu cukup doain gue sama Egi bahagia sampai surga," pinta Echa. "Itu aja cukup, kok."

"Gue berdoa ke Tuhan yang mana?" tanyanya sambil memberikan segelas kopi kepada Echa, yang diterima gadis itu. "Doa gak etis, sih." Ia menatap wajah gadis di depannya, lalu mengernyit. "Kayaknya lu kurang sehat?" Ia merebut kembali gelas di tangan Echa, sehingga gadis itu hanya menganga karena ia sudah bersiap hendak minum.

"Gue gak apa-apa!" serunya kesal. "Kenapa lu ambil lagi?" tanyanya tak terima.

Daniel tak menjawab. Ia bergegas ke lemari kecil di sana, meletakkan gelas dan mencari-cari sesuatu. Dengan sigap, ia memberikan obat dan segelas air mineral kepada Echa. "Lu harusnya jaga pola makan, dan banyak-banyak konsumsi—"

"Ssst ... gue tahu, gue juga pendidikan dokter kalau lu lupa," ungkapnya sedikit kesal karena pria di hadapannya terlihat khawatir sekali. "Gue gak apa-apa," tolaknya.

Hening tercipta beberapa saat, dengan pandangan Daniel yang tak lepas darinya. Pria itu menarik kembali tangannya, menyimpan di atas meja obat itu. Ia berpikir, pikirannya terlihat berat. Ia pun memutuskan untuk bertanya, "Lu hamil, Cha?"

Echa tersentak mendengarnya. "Enggak. Hamil gimana?"

"Ya, lu akhir-akhir ini beda. Lebih cepat lelah, makan lebih banyak dari biasanya, terus sering pusing, 'kan?"

Alis Echa bertaut mendengarnya. "Kenapa lu merhatiin gue sebegitunya? Gue aja gak sadar kalau gue begitu!?"

"Kan gue sahabat lu," jawab Daniel enteng. Ia duduk di atas tempat tidur. "Kita periksa ke dokter? Gue temenin?"

BABEGI & SAYYAWhere stories live. Discover now