36. Rencana Masa Depan

48 32 10
                                    

"Kamu tahu? Kamu menjadi bagian dari rencana masa depanku."
***

Mia, Phi, Geo, Dahlia, dan Egi, duduk melingkar pada meja makan di dapur rumah. Mereka sedang menikmati hidangan makan siang yang dimasak oleh Mia.

Sambil makan, diam-diam mereka saling lirik, lalu memandang ke arah Egi yang makan dengan lahap—tergambar jelas jika ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya.

Tadi, tiba-tiba saja Egi mengajak semuanya berkumpul siang ini. Padahal, tempat kerja Geo dan Dahlia cukup jauh, sehingga mereka izin setengah hari—karena Egi berkata ingin membahas hal yang serius. Sebenarnya hanya Dahlia yang benar-benar izin—dari sekolah—, karena Geo bekerja menggantikan Phi di perusahaan mereka.

"Be, aman?" tanya Geo yang kelewat khawatir dan penasaran dengan adiknya itu.

Egi langsung menyelesaikan makan. Ia menatap satu-satu anggota keluarganya, yang sudah tampak siap mendengarkan.

"Babe telah siap untuk menikah," ungkapnya yakin.

Awalnya, mereka semua terkejut. Namun, setelah itu mulai muncul reaksi beragam di antara mereka.

Geo tertawa—ia hanya tak menyangka karena baginya adiknya itu masih bocah kecil—, Dahlia tersenyum senang, Phi bertepuk tangan dengan takjub—tak menyangka anak bungsunya ternyata sudah dewasa—, sedangkan Mia tampak terharu.

"Babe serius?" tanya Mia dramatis. Namun, ia menyipitkan mata kemudian. "Eits .... Ini nikah sama Echa, 'kan?"

Egi mengangguk sambil tersenyum.

Sementara itu, Geo memandang heran. Ia satu-satunya yang tak terima di sini. "Eh, lu kan kuliah di London? Terus nanti, Echa mau ditinggalin gitu aja?"

"Gue udah pikirin untuk pindah—"

"Lu gila!?" Geo terlihat emosional. "Bukannya dulu lu sama Echa pisah karena sadar, impian masing-masing lebih penting? Lu gak lupa kejadian di IST, 'kan? Lu yang cerita ke gue," jelasnya. "Lagian, gue yakin seratus persen Echa gak bakalan setuju."

Dahlia menggenggam tangan suaminya sambil tersenyum. Ia mengusap-usapnya pelan dengan jari. "Banyak kok, suami-istri yang jauh-jauhan karena pekerjaan, tapi mereka bisa bertahan, Bang," ungkapnya lembut.

"Bukan itu masalahnya, Dik," jawabnya. "Itu Babe tiba-tiba aja mau nikah, dengan wajah banyak beban kayak gitu." Ia lalu menatap Egi tak percaya. "Be! Lu gak apa-apain Echa, 'kan!?"

Semua orang melotot kaget, dan langsung memandang Egi.

Egi mengambil garpu di piring, lalu menodongkannya ke arah abangnya itu. "Gila lu!" sergahnya.

"Bang, ucapannya dijaga," nasihat Dahlia.

"Ya, kali, Dik, lihat aja." Ia lalu berkata pelan, "Lagian harusnya Be, lu itu ungkapin dulu, latar belakang masalahnya apa."

"Lu pikir mau bikin makalah!" kata Egi kesal. Ia lalu mengatur emosi, jangan terpancing, ini perkara serius.

Mia pun memandang Geo. "Bisa-bisanya Geo berpikiran sejauh itu. Ya, meskipun kita khawatir dengan pergaulan Babe di London, tetapi—"

"Ma ...." Egi memandang Mia tanpa ekspresi. Mengapa ia malah difitnah?

Phi tertawa kecil, ia lalu mengusulkan, "Babe jelasin dulu, ya. Kenapa Babe mau nikah sekarang?"

Egi terdiam sebentar, ia memikirkan kata-katanya. Sedangkan yang lain menyimak dengan serius.

"Kan kita semua udah tahu, bagaimana keadaan Echa yang sebenarnya ...," ungkapnya pelan, "dan sekarang, Echa sedang berjuang untuk sembuh." Semua orang mengernyit tak mengerti. Namun, penjelasan Egi selanjutnya, membuat mereka paham. "Babe mau di sisi Echa, saat dia melewati masa-masa sulit. Babe gak mau Echa sendirian ke psikiater, dan berharap bisa membantu proses pemulihannya."

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang