50. Minggu Depan (?)

54 28 5
                                    

"Melamar atau dilamar? Tidak masalah ... selagi masih kamu  orangnya."

***

"Reline hamil, Dok?" tanya Gevan akhirnya. Raut wajahnya bingung, antara percaya dan tidak percaya.

"Iya, Pak. Tadi sudah diperik—"

"Reline istri saya, Dok? Hamil?" tanyanya memastikan. Dadanya mulai terasa naik-turun. "Reline istri Gevan?"

"Menurut lu, gue istri siapa lagi!?" tanya Reline tak santai. Ia turun dari tempat tidur menuju suaminya. "Lu gak percaya? Menurut lu kalau kita begituan waktu itu, jadinya bukan anak!?"

Echa menahan tawa. Ia segera mendekat, dan berusaha menenangkan Reline. "Gevan kaget aja," bisiknya.

Gevan memegang dada. Air matanya langsung menetes. Bukan hanya itu, ia mulai menangis. Reline pun segera memeluknya. "Maaf, Gev, gue gak sengaja marah." Ia mengusap punggung suaminya. "Maaf, ya, lu jangan nangis di sini juga."

Gevan melepaskan pelukan. Ia menatap Reline lembut. "Jadi, lu hamil, Re?"

Hening tercipta beberapa saat. Reline menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan pelan. Sabar, amarahnya tidak boleh terpancing. Ia tersenyum, lalu berkata, "Iya, Sayang, dan ini anak kita." Ia meraih tangan Gevan untuk mengusap perutnya. "Usianya udah enam minggu."

Kedua alis Gevan terangkat. Mengapa ia baru tahu? Padahal terakhir mereka sibuk mengurus persiapan wisuda. Harusnya ia lebih menjaga istrinya dengan baik. Ia kembali memeluk Reline semangat. "Alhamdulillah. Terima kasih, ya, Allah. Benar-benar kayak mimpi," ungkapnya haru. "Gue bakal jadi ayah."

Reline tersenyum. Ia bahagia, tentu saja sangat bahagia. "Gue bakal jadi ibu."

"Gue jadi tante!" seru Echa riang. Ia menyerahkan foto USG kepada Gevan. "Ini foto USG-nya."

Gevan menerimanya. Belum banyak yang terlihat, dan ia tahu itu. Yang pasti ada segumpal daging kecil yang akan terus tumbuh menjadi besar di dalam perut istrinya sekarang.

"Nah, karena ini kehamilan pertama dan hamil muda ...," ujar dokter menggantung, "saya akan jelaskan tentang hal yang masih bisa dan boleh dilakukan, dan mana yang perlu diwaspadai."

"Maaf, Dok," sanggah Echa. "Kalau bahas itu, saya keluar aja." Ia tersenyum tak enak, lalu tertawa canggung, membuat Gevan dan Reline tertawa.

***

Hari sudah malam ketika Echa sampai di rumah. Ia masih merasakan kebahagiaan di momen tadi, tetapi harus ditahan karena kedua pasangan itu ingin merahasiakannya sejenak. Karena mereka berencana mengumumkannya kepada keluarga dengan sebuah acara.

Ketika ia berdiri di depan pintu rumah, pintu tersebut tiba-tiba terbuka.

"Kalian mau ke mana?" tanya Echa heran. Ia melihat Yoan dan Tya berpakaian rapi sekali. Caca juga terlihat baru muncul di belakang mereka. "Yoan kapan ke sini?"

Tya menarik kakaknya untuk masuk. Ia lalu berkata, "Kakak mandi, ya. Setelah itu ganti baju." Ia pun memeluk lengan kakaknya diikuti Caca. Mereka membawa Echa menuju kamar. Memastikan jika kakak mereka melakukan apa yang disuruh.

Sementara itu, Echa berpikir. Ia lalu berasumsi jika Gevan dan Reline akan mengadakan acara itu sekarang. Ia akhirnya menurut saja.

Sepuluh menit kemudian, Echa keluar dari kamar mandi dengan daster, sambil mengusap rambut. Ia santai sekali, duduk di atas ranjang dan memainkan ponsel. Tiba-tiba ia ingin mengabari Egi tentang kejadian tadi, dan menceritakan betapa dramanya Gevan. Namun, pria itu tidak menjawab panggilannya. Panggilan kedua malah dimatikan. Apa sibuk, karena akan diwisuda lusa nanti?

BABEGI & SAYYAWhere stories live. Discover now