59. Rencana

59 27 10
                                    

"Sudah saatnya memastikan keadaan ini. Meski hasilnya buruk sekali pun dan jauh dari ekspektasiku, setidaknya semuanya jelas. Aku ... tidak menebak-nebak lagi."
****

Sebuah kafe bergaya vintage, dengan desain seperti kayu dan barang-barang antik menghiasi, terlihat tak terlalu ramai siang ini. Salah satu meja paling sudut, bukan hanya tersaji makanan dan minuman, tetapi juga terdapat tumpukan map, yang sedang diperiksa oleh Kevin. Ia fokus bekerja diiringi alunan musik klasik yang terdengar di seluruh sudut kafe. Sementara itu, gadis di seberangnya juga terlihat asyik sendiri bermain ponsel. Bahkan, tersenyum-senyum sendiri. Hanya ketika melihat Kevin saja, ia merasa jengkel.

Gadis berambut panjang, dengan gaun cokelat selutut serta luaran jaket model crop, mulai merasa lapar. "Kita kapan makan, Sayang?" tanyanya. Namun, Kevin tak mendengar. Ia pun menepuk meja di hadapan pria itu berkali-kali untuk menarik perhatiannya. Berhasil! "Kamu bisa-bisanya bawa kerjaan ke sini!" serunya kesal.

"Maaf, Le, keputusannya udah harus ada nanti sore." Ia menutup map itu. "Semua proposal per kegiatan usaha masyarakatnya harus diberi keputusan secepat mungkin, supaya tidak terlalu membuat mereka menunggu."

"Le!? Kamu manggil aku Le-Le-Le lagi!?" Ia mulai marah. Wajah cantiknya muram, dan memerah. "Aku gak peduli Le ini siapa, yang jelas singkirin semua pekerjaan kamu saat sama aku, Kev!"

Kevin mengurut kening. Mengapa ia sering salah menyebut nama gadis ini? Memang bodoh, tetapi harus ia akui, ketika sangat fokus bekerja, hanya satu nama itu di dalam memorinya, karena gadis itu yang selalu sabar membantu dan menjaganya.

"Maaf," ungkapnya tulus. "Tapi kamu bisa dukung pekerjaan aku?"

"Aku bahkan gak ngerti sama apa yang kamu kerjakan!" Ia mengambil segelas kopi lalu meminumnya sebentar. "Sudahlah. Setidaknya itu menghasilkan." Ia menaruh gelas sambil mengomel, "Kamu juga gak pernah ada waktu untuk nemenin aku belanja."

Kevin menatap gadis itu lembut. "Maaf, kalau aku sibuk, tapi semuanya demi karier dan masa depan yang lebih baik, Sayang ...."

"Aku gak mau tahu! Aku butuhnya waktu kamu sekarang!" Ia menunjuk-nunjuk meja dengan kesal. "Lagian kan orangtua kamu kaya! Sudah jelas perusahaannya, dan menjanjikan. Mengapa merepotkan diri untuk bangun perusahaan, yang notabenenya cuman buat bantu usaha kecil orang lain!?"

Suara hati gadis itu yang berhasil diungkapkannya, seperti menampar Kevin. Mengapa pacarnya tidak bisa mendukung sedikit saja, dan sekarang malah meremehkan pekerjaannya?

Tatapannya berubah sedih, seiring dengan hal aneh yang terjadi padanya. Matanya mulai melihat bayangan gadis itu berganti menjadi Alea yang tersenyum menguatkannya.

Alea ... sahabat yang selalu mendukung dan sejalan dengannya. Selalu sabar dan ada untuknya. Sahabatnya, yang sudah lama menghilang dan menghindarinya begitu saja. Di saat berkumpul dengan Egi dan Gevan pun, gadis itu tetap menghindarinya.

"Membantu menyejahterakan masyarakat, merupakan salah satu visi aku, Sayang," ungkapnya lembut, berharap gadis itu mengerti.

"Aku ke toilet!"

Kevin menatap kepergian gadis itu yang selalu memilih kabur setelah memarahinya. Ia memukul-mukulkan tangan ke kening dengan pelan. Mengapa Alea tidak pernah pergi dari pikirannya? Bahkan, ia sangat merindukan segalanya. Seperti apa yang pernah ia bilang dulu, ia tidak bisa tanpa gadis itu. Gadis yang membuatnya nyaman seperti "rumah" untuknya: tempat baginya berbagi suka-duka, dan ingin tinggal selamanya.

"Le ...," panggilnya lirih. "Kalau benar perasaan gue cuman karena sahabat, kenapa gue menginginkan lu untuk selamanya di samping gue, tanpa ada yang mengganggu?"

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang