54. H-1

55 28 3
                                    

"Tidak semua orang beruntung dengan cintanya. Jika tidak beruntung, aku berharap cinta itu tidak menyiksamu perlahan."
***

Keadaan cukup berisik di dalam sebuah mobil, walau hanya dua orang di dalamnya. Lagu yang memenuhi indera pendengaran, ditambah Echa yang duduk di sebelah kursi kemudi, mencoba mengikuti nyanyian secara sembarangan dan seenaknya lagu-lagu yang diputar Daniel, sambil memakan camilan.

Daniel mencuri-curi pandang dari kursi kemudi. Ia diam-diam tertawa melihat tingkah Echa yang sedari dulu memang selalu menarik baginya—meski absurd. Lihatlah sekarang, gadis itu berusaha mengikuti irama lagu walau lirik yang diucapkan samar dan tidak jelas, seperti bayi baru mulai berbicara.

"Cobain, Dan." Echa menyodorkan keripik balado dari bungkus besar yang baru dibuka. "Gak terlalu pedas, ada manisnya." Karena pria itu sedang menyetir, ia menyuapinya.

Daniel membuka mulut, mengunyah walau pandangan fokus ke depan. "Enak, Cha, tapi haus." Ia tertawa kecil ketika minuman langsung ada di hadapannya.

Echa tersenyum melihatnya. Ia tidak keberatan dengan kegiatan yang seperti ini, karena sudah terbiasa dengan Daniel dan menganggapnya salah satu sahabat terbaik.

"Aura lu bagus, kayaknya karena besok mau nikah," goda Daniel.

Senyuman Echa berubah malu-malu. Ia sangat bersemangat untuk besok, bahkan jantungnya berdebar dari sekarang. "Bisa aja lu! Gue udah berdebar sekarang. Kalau besok jantung gue melompat keluar, gimana, ya?" Ia tertawa kecil, memperlihatkan eye smile-nya.

Daniel terdiam melihatnya. Lu begitu indah ketika jatuh cinta, Cha. Andai lu tahu itu. Sayangnya, bukan gue penyebab lu begitu.

"Eh, ini lagunya sedih banget gak, sih?"  tanya Echa sambil mengernyit. Ia tidak tahu artinya, tetapi bisa merasakan dari nada dan suara si penyanyi. "Lagu Korea? Bener, 'kan, lagu sedih?" tanyanya sambil memandang Daniel.

Ia semakin mengernyit melihat ekspresi Daniel,  yang berubah serius dan memandang hampa ke depan. Mobil pun melaju lambat, lalu berhenti di depan sebuah kafe.

"Love is Punishment." Daniel menoleh ke arah Echa yang terdiam menatapnya. "Kupikir cinta adalah kebahagiaan dan kesenangan, tetapi tidak bisa mengungkapkan cinta ... adalah hukuman. Mencintaimu sangat menyakitkan, dan kamu adalah hukuman untukku," lirihnya. Ia menghadapkan tubuh ke arah Echa sepenuhnya, sebelah tangannya terulur untuk mematikan lagu yang hanya mengacaukan suasana hatinya. "Walau begitu, aku tetap tidak rela melepaskanmu .... Kejam, 'kan?"

Mata Echa mengerjap. "Ha?"

"Makna lagunya." Daniel tersenyum. "Egi udah nungguin tuh." Ia menunjuk dengan dagu ke arah belakang Echa.

Echa berbalik, dari jendela ia melihat Egi berdiri di luar sambil tersenyum menunggunya. Walau ia tahu jika pria itu tidak bisa melihat ke dalam karena kaca mobil yang gelap. "Gue pergi, ya. Titip salam sama calon istri lu." Ia tersenyum, berbeda dengan pria di sampingnya yang terdiam.

"Cha ... gue harap lu beruntung sama cinta lu, karena gak semua orang begitu. Gue selalu berdoa kebahagiaan untuk lu dan Egi."

Kedua sudut bibir Echa terangkat, ia mengangguk, lalu membuka pintu. Sementara itu, sebelah tangan Daniel yang terulur, menggenggam hampa. Ia tidak bisa, dan tak akan pernah bisa mencegah gadis itu pergi.

"Assalamu'alaikum, Cha," sapa Egi senang. Jantungnya berdegup kencang, apalagi mengingat besok pagi mereka akan menikah.

Senyuman Echa mengembang. Ia bahagia bisa melihat calon suaminya sekarang. "Wa'alaikumussalam, Gi."

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang