2. Tidak akan sama

8K 740 315
                                    

Claudya menghela napasnya berat kala manik matanya menangkap Aca yang sudah tidak berdaya di lantai. Tadi, Aca sempat menelepon Cladya karena ingin menanyakan tugas Bahasa Indonesia. Namun, saat ditelepon tiba-tiba Claudya mendengar ada suara gelas jatuh dan sejak saat itu pula tidak terdengar suara Aca.

Claudya mengeluarkan minyak angin dari tas warna hitam, lalu dia mendekatkan minyak angin tersebut ke hidung Aca, berharap gadis itu bisa segera sadar.

"Ca, bangun," kata Claudya.

Claudya mulai panik sendiri hingga akhirnya dia memutuskan untuk membawa Aca ke rumah sakit dibantu oleh sopir pribadi Cladya. Gadis itu takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya yang satu ini.

***

Seorang gadis cantik yang mengenakan seragam putih abu-abu datang menjenguk Aca. Gadis itu tersenyum kala Aca sudah terlihat baik-baik saja.

"Gimana kondisi lo sekarang, Ca? Sudah mendingan?"

Aca mengangguk antusias. Kondisi tubuh dia memang sudah membaik, tetapi tidak dengan hatinya. Aca terus celingak-celinguk seperti menunggu kedatangan seseorang. Sejak tadi malam, Arka sama sekali belum menjenguk Aca di rumah sakit.

"Lo enggak usah nyariin yang enggak ada, Ca."

"Bang Arka enggak datang, Clau," ujar Aca.

Sudah Cladya duga kalau Arka tidak akan datang. Semalam, Claudya menghubungi Arka. Namun, cowok itu malah menyuruh dirinya untuk menemani Aca.

"Bang Arka lebih mentingin Kak Ara."

Cladya tersenyum getir mendengarnya. Yang bisa dilakukan Claudya saat ini hanya memeluk tubuh sahabatnya dari samping sekadar memberikan semangat. Aca beruntung sekali mempunyai sahabat seperti Claudya yang sudah dia anggap seperti kakak.

"Clau, aku seneng banget bisa kenal kamu."

"Gue jauh lebih senang, Ca. Kalau enggak ada lo mungkin gue enggak punya teman."

****
"Kalian enggak pengen jadi buaya darat? Punya cewek banyak biar keren kayak gue."

"Kita-kita mah setia, Dan. Enggak kayak lo!"

Dimas menempeleng kepala Zidan dengan sekuat tenaga sehingga empunya mengaduh kesakitan.

"Bilang saja enggak ada yang mau enggak usah bawa-bawa embel-embel setia," kata Zidan.

Pandangan Arya saat ini tertuju ke Arka. Arka seperti mencemaskan sesuatu. Tidak lama kemudian, Arka bangkit dari duduknya. Namun, sebelum pergi dia tidak lupa untuk pamit ke para sahabatnya.

"Lo kenapa, Ka?"

"Biasa lagi mikirin cewek buat Idan," serobot Zidan.

"Lo bisa diem, enggak?" Sorot matanya mengunus tajam memasuki netra hitam Zidan.

"Lo kenapa?" tanya Arya sekali lagi.

Dengan napas yang tersengal-sengal. Seorang gadis cantik yang masih mengenakan seragam sekolah menghampiri Arka yang saat ini ada di markas.

"Kak——"

"Cewek gue lagi sedih. Gue mau lihat keadaan Ara."

"Aca butuh Kak Arka!"

Arka menatap Claudya dengan tatapan yang sulit diartikan. Selepas itu, cowok itu melintasi Claudya yang berdiri di ambang pintu. Claudya sempat mencekal tangan Arka. Namun, pada akhirnya tetap terlepas.

"Miris banget hidup lo, Ca. Abang lo lebih mentingin kak Ara yang notabenenya cuma orang lain."

****
Aca sejak tadi terus menatap layar ponselnya. Ada rasa ingin menghubungi Arka. Namun, dia berusaha menahan keinginannya untuk menghubungi Arka. Aca menoleh kala pintu terbuka, seorang gadis cantik yang mengenakan kaos putih polos serta bandana hitam yang terpasang apik di kepala menghampiri Aca.

"Lo nanti balik ke rumah gue."

"Nanti papa kamu——"

"Papa enggak bakal marah. Gue sudah izin sama dia untuk ajak lo ke rumah, Ca," jelas Claudya.

"Aku enggak mau nyusahin kamu. Aku pulang ke rumah aku saja. Di rumah juga ada bang Arka."

"Ca! Abang lo enggak peduli sama lo!"

Aca menunduk dalam. Apa yang dikatakan Claudya ada benarnya juga kalau Arka tidak peduli dengannya.

"Maaf kalau ucapan gue bikin sakit hati."

Aca tersenyum ke arah Claudya. "Apa yang kamu katakan memang benar, Clau. Abang enggak peduli sama aku."

"Ada gue yang bakal selalu peduli sama lo."

Jordan Bramasta memijat pelipisnya yang terasa pening. Lelaki berusia kepala lima yang terlihat masih muda itu menghela napasnya berat kala membaca laporan keuangan perusahaan yang mengalami penurunan.

"Sial! Rugi lagi!" Jordan melemparkan berkas-berkas yang ada di meja ke sembarang arah.

Dahinya bergelombang kala anak perempuannya menghubungi dirinya disaat seperti ini. Di seberang sana, Aca tersenyum bahagia kala Jordan menerima panggilannya. Hal ini memang sangat sederhana.

"Ada perlu apa?"

"Aca cuma butuh ayah ada di sini."

"Cuma itu?"

"Iya cuma ini, tapi ayah sama sekali tidak menuruti keinginan Aca. Ayah selalu saja bekerja, bekerja, dan bekerja——"

Jordan menggebrak meja sekuat tenaga. Raut wajahnya memerah. Dadanya naik turun menahan amarahnya.

"Saya bekerja untuk kamu! Kamu itu enggak bakal bisa hidup enak kalau saya enggak kerja!"

"Ayah enggak pernah menyempatkan waktu untuk Aca. Aca iri sama Claudya yang akrab sama papanya. Aca juga ingin seperti Claudya."

"Anastasya Aurelian Bramasta! Jangan pernah membandingkan kehidupan kamu dengan orang lain karena sampai kapan pun tidak akan sama."

Tentang Aca [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang