55. Gimana kalau jantung Aca?

1.4K 102 27
                                    

Saat ini tempat pulang yang paling nyaman untuk dirinya hanya tempat peristirahatan Bundanya. Arka tidak peduli jika saat ini hujan terus mengguyur sekujur tubuhnya. Cowok yang mengenakan hoodie hitam duduk bersimpuh di samping makam Bundanya.

"Bunda," panggil Arka.

Suaranya bergetar hebat, tangannya terangkat memegang nisan bertuliskan nama seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya.

"Bun, Arka kangen sama bunda. Bunda marah, ya, sama Arka? Bunda marah gara-gara Arka udah nuduh Aca yang bunuh bunda, padahal yang bunuh bunda itu istri kedua ayah." Air matanya terjatuh. "Ayah gak percaya kalau istri keduanya udah bunuh bunda. Ayah bilang Arka terlalu bego sampai percaya berita itu, tapi bukannya ayah lebih bego dari Arka, bun?" Dia mengusap air matanya.

"Ayah bego udah nyakitin bunda."

"Bun, Arka di masa depan gak bakalan kayak ayah, kan? Arka takut, bunda. Arka takut kalau suatu saat nanti sifat ayah yang sekarang bisa menurun ke Arka."

***
Jam dua belas malam Aca terbangun dari tidurnya. Jika sudah seperti ini dipastikan Aca gak bakalan bisa tidur kembali. Oleh karena itu, gadis itu memutuskan untuk keluar kamarnya. Saat Aca baru saja hendak membuka pintu, tiba-tiba ada seseorang yang membukanya. Orang itu tidak lain adalah Raka sendiri.

"Abang Raka," panggil Aca.

Aca memeluk Raka. Aca sadar jika dia dan Raka tidak ada hubungan darah. Namun, sekarang ini Aca benar-benar butuh pelukan seseorang. Raka sendiri pun tahu batasannya antara dirinya dan Aca. Raka melepaskan pelukannya dengan Aca. Tangannya dia tumpukan di pundak Aca. Mata miliknya menatap dalam mata cantik milik gadis yang ada di depannya.

"Adeknya Abang Raka kenapa?"

"Aca harus gimana, Bang?" tanya Aca. "Apa Aca harus memilih Rayyan biar Zidan baik-baik aja? Kalau gitu, berarti Aca mengorbankan kebahagiaan Aca, Bang? Tapi kalau gak milih Rayyan, Aca takut Zidan kenapa-kenapa. Aca gak mau hal itu terjadi, Bang," sambung Aca.

Besok Aca harus memutuskan jawaban yang sangat sulit. Aca ingin sekali malam ini berjalan dengan lambat. Aca belum siap menghadapi hari besok. Aca tidak pernah menduga jika nasibnya akan seperti ini.

***
"Ca, sekolahnya bawa motor sendiri, ya," ujar seorang cowok yang mengenakan kemeja planel warna biru perpaduan putih dengan semua kancing yang dibiarkan begitu saja sehingga tampak kaus putih.

Aca yang tengah mengikat tali sepatunya, mendongak. Menatap wajah tampan Kakaknya. "Siap, Abang!" ucapnya dengan semangat. Bahkan Aca mengucapkan kalimat tersebut sambil hormat.

Raka geleng-geleng dengan tingkah Aca yang notabennya hanya Adik angkat. Menurutnya gadis yang duduk di hadapannya itu begitu menggemaskan. Selepas urusan sepatunya selesai, Aca bangkit dari duduknya sembari menggendong tas sekolahnya.

"Adek gue gemesin banget!" Tangannya terulur mencubit kedua pipi Aca dengan gemas.

"Ih! Jangan cubit- cubit kayak gitu dong! Sakit tau!"

Aca mengerucutkan bibirnya, tangannya di silangkan di depan dadanya. Apa yang dilakukan Aca berhasil membuat Raka semakin gemas dibuatnya.

"Maaf, kalau cium boleh?"

"Boleh, tapi gak boleh sekarang."

"Kapan bolehnya?"

"Kalau Aca mati, Bang." Aca tersenyum. Namun, tidak dengan Raka yang malah terdiam sembari menatap sendu wajah cantik Anastasya Aurelian Bramasta.

"Jangan mati dulu, Ca. Gue belum bahagiain lo."

***
Sepanjang perjalanan Aca terus menyanyikan lagu kesukaannya, sampai akhirnya penggalan lagu yang keluar dari mulutnya tiba-tiba berhenti lantaran motor yang ditumpangi dirinya tiba-tiba mati karena kehabisan bensin. Aca menghela napasnya berat kala di tempat dia berhenti saat ini sangat jauh dari pom bensin.

Tentang Aca [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang