BAGIAN 8

732 193 41
                                    

GAYA

LATIHAN.

DERE - KOTA

Udara mana, kini yang kau hirup

Hujan di mana, kini yang kau peluk

Di mana pun, kau kini ... uh

Rindu untukmu, tak pernah pergi

"Stop! Stop!" Itu gitaris saya, Pandu. "Ari maneh kenapa?"

Saya yang sedang membayangkan wajah Meta terperanjat. "Eh, kenapa, Du?"

"Lagunya melow lho ini. Kok nada sama mimik wajahmu aneh?" Pandu terlihat jengkel. "Dari tadi senyam-senyum, senyam-senyum. Gila kali yaa!"

Ternyata dari tadi bibir saya tidak bisa diajak kompromi. "Sorry, lur. Gini euy, kalau lagi bahagia teh."

Abar, Drummer Riung Mungpulung tertawa. "Udah lama aing nggak denger maneh sebahagia ini. Lagi deket sama cewek?"

"Break! Break!" Si Wastra, Sang Bassis, yang nggak suka kalau ngobrol pas latihan, langsung menggelegar.

Jelas kami semua memilih bergerak. Pandu mengambil air di tas. Wastra menyender di dinding studio musik tempat kami latihan. Sementara Abar, mendekat ke arah saya yang sedang duduk tepat di bawah stand mic.

"Ini lagi naksir beneran atau cuma mau itunya doang?" tanya Abar sambil terkekeh.

"Maksud 'itunya' itu apa?" Saya melotot. "Jangan aneh."

"Huh ...." Dia menoyor kepala saya. "Semua orang tahu kalau kamu itu playboy. Kamu deketin cewek cuma buat have fun doang."

Saya makin melotot mendengar ucapan Abar yang barbar. Semua orang tahu kalau saya memang senang bergonta-ganti perempuan, tapi nggak diperjelas begitu juga kali! Saya memilih menepuk tangannya. "Jaga atuh kalo ngomong teh. Jangan asal jeplak."

Pandu menyodorkan air mineral. "Emang beneran maneh lagi naksir seseorang?"

Saya yang memang selalu cerita apa pun soal perempuan ke mereka, langsung tersenyum lebar. "Yoi."

"Saha?" Wastra ikut mendekat.

Kini formasi kami membentuk lingkaran. Haduh, saya heran teman-teman saya suka banget kalau ngobrolin cewek yang sedang dekat sama saya.

"Anak kos baru di tempat Mama," jawab saya.

"Seksi?" Wastra bertanya lagi.

"Bahendol?" Pandu mengerutkan kening.

"Mulus?" Abar tak kalah heboh.

Saya memikirkan kembali seorang Meta. Kali ini lebih detail. Jika dipikir-pikir, semua yang ditanyakan teman-teman saya itu nggak ada yang mendekati. Meta nggak pernah tergambar sebagai orang yang seperti itu. Saya merekamnya sebagai gadis lugu yang blak-blakkan. Pakainnya terbilang sopan dengan rambut sebahunya. Jika keluar rumah, dia seperti nggak mikirin penampilan yang ribet dengan make up dan segala perintilannya.

Saya menggeleng setelah sekian lama berpikir.

"Tumben," ucap Pandu. "Selera kamu turun? Biasanya suka yang ketat-ketat."

"Bukan turun sih." Saya membayangkan sorot mata Meta yang tajam. "Mungkin berganti. Secara badan, dia nggak seksi, bahendol, atau apa pun itu. Tapi kalau soal karakter, wah, jangan ditanya."

"Jadi selera kamu dari yang awalnya mandang fisik, jadi mandang sifat?" Abar nimbrung lagi.

"Nggak percaya aing mah!" Wastra mencibir. "Masa seorang Gaya mikirin karakter. Cuih. Hahahaha. Bukan Gaya banget."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now