13. Efektivitas

460 62 12
                                    

Sepasang alis itu berkedut. Perlahan kelompak mata yang sejak tadi terpejam sejak tadi perlahan mulai bergerak. Membuka perlahan demi perlahan. Berkedip-kedip menyesuaikan cahaya yang masuk pada manik crimson itu.

Cahaya begitu silau yang menyapa untuk pertama kali. Kembali terpejam untuk mempersiapkan maniknya itu sebelum kembali dibuka. Langit-langit yang berbeda dengan kamar yang biasa ia pakai untuk tinggal dan beristirahat. Menoleh ke kanan dan ke kiri secara perlahan untuk mengenali ruangan yang ia tempati.

Kosong.

Tidak ada barang lain di ruangan ini kecuali kasur, dan tiang infus serta selang oksigen yang bertengker di hidung. Tapi keanehan bukan dari itu saja. Ruangan ini benar-benar putih. Tidak ada warna lain selain putih. Bahkan sela-sela ubin tidak memiliki warnai lain selain warna putih. Membuatnya semakin bingung dan panik.

Sejenak ia berdiam diri. Mengingat kejadian sebelum ia berada di sini. Sekelebat ingatan muncul di otaknya. Mencerna kembali ingatan-ingatan yang ada di otaknya itu.

Seketika dirinya mulai panik. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ingatan yang muncul benar-benar buruk. Tamparan, bentakan, hingga tatapan yang sangat dingin mencul di kepalanya. Rasa bersalah seketika menghiasi seluruh hatinya. Tidak seharusnya ia memberontak kepada mereka.

"A... Ayah!"

Serunya ketakutan. Ia melepas selang oksigen yang bertengker di hidungnya. Mencabut dengan paksa jarum infus yang terpasang rapi di lengan kanannya. Tidak peduli darah mengucur cukup deras. Perlahan bangkit dari tempat tidurnya guna mencari sosok sang ayah.

Tidak ada meja, tidak ada kursi, bahkan tidak ada jendela dan gagang pintu. Tidak ada seseorang pun di sini. Panik benar-benar memenuhi dirinya. Memaksakan tubuh yang baru terbangun ini untuk berdiri. Tapi percuma. Kaki-kaki itu terlalu lemas untuk berdiri.

"Ayah di mana kau? Jangan tinggalkan aku!" Teriaknya dengan panik.

Air mata mulai bercucuran. Mecoba kembali untuk bangkit. Tapi usahanya gagal. Kakinya terlalu sulit untuk di gerakan. Dirinya semakin gursah. Memukul kedua kakinya yang tak berdaya, " Ayolah! Dasar kaki bodoh! Kenapa kau tidak bisa digerakan?!"

Anak itu benar-benar marah. Memukul-mukul kakinya semakin kencang. Berharap agar kaki-kakinya itu ikut bekerja sama dengannya. Tapi apadaya dengan kekuatannya. Mereka terlalu lemah untuk digerakan. Terpaksa ia menyeret tubuhnya menuju celah yang berbentuk pintu. Walau harus terjerembab berkali-kali ia tetap harus mencapai pintu itu.

BRAK! BRAK! BRAK!

"SIAPA PUN TOLONG BUKA PINTU INI!"

Pemilik surai crimson ini benar-benar mengeluarkan seluruh kekuatannya. Ia memukul pintu itu sekeras-kerasnya agar seseorang di luar sana menyadari keberadaanya ini. Berharap ada sedikit pertolongan yang datang.

"Kumohon siapa pun jangan tinggalkan aku!"

Nihil.

Tidak ada jawaban sama sekali. Tenaganya anak itu sudah habis. Hanya bisa menangis dan mengetuk pintu itu yang mulai memelan.

"Kumohon..."

Ruangan ini hanya dipenuhi oleh isakan tangis yang terdengar menyakitkan. Ruangan yang cukup luas dan terang. Tapi memiliki kesan yang dingin dan mencekam. Sesak melanda hatinya. Ruangan ini memang berbeda dari lemari gelap tempat ia dikurung oleh ayah kandungnya. Tapi benar-benar membangkitkan rasa takutnya.

Suara-suara keras tiba-tiba memasuki pendengarannya. Tanpa aba-aba menyerang dengan bertubi-tubi. Sahutan demi sahutan datang. Entah itu cacian maupun makian. Semua itu benar-benar memenuhi kepalanya. Membawa dirinya untuk meringkuk gemetar. Memecamkan mata dengan air mata yang terus mengalir. Menutup setiap terlinga dengan kencang dengan kedua tangannya walau tak berguna. Terus memohon agar suara itu segera menghilang.

Tatsukete Tenn-nii [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang