『Chapter VI』

10 6 1
                                    


Hening.

Itulah yang menggambarkan suasana ke-enam insan itu sekarang.

Mereka duduk bersebelahan di depan teras, namun tak ada satupun yang membuka pembicaraan.

"Jadi... kakak kenapa kesini?" Kanaya memecah keheningan yang ada. Mencoba membuat suasana canggung di sekitar mereka menghilang.

"Mau tau aja atau mau tau banget~?"

Ingatkan Kanaya agar tidak menampar pria setinggi 178 cm di depannya itu.

Andreass terkikik geli, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku celananya. Ia lantas berjongkok di hadapan Kanaya, membuka kota yang ternyata berisi sebuah kalung dengan liontin berbentuk peluru.

"Do you want to marry me?"

"Hah?" Kanaya menelengkan kepalanya bingung. Lion sendiri langsung menendang punggung pria setinggi 178 cm itu kesal. "Bercanda lagi gue coret dari kk!" ancamnya ganas.

"Hehehe, peace." Lion memputkan bibirnya, ingin sekali menggorok leher sang adik. "Intinya, gini. Lu mau jadi adek gue gak, Kanaya?"

"Hah?" Kanaya kembali dibuat bingung. Ia sama sekali tak paham.

"Hah heh hah heh, kita gak lagi lomba klomang yah-!" kesal Keith. Capek dia nungguin basa-basi yang tiada akhir ini.

"Sabar Eif, sabar." Coki mencoba menenangkan hati Keith dengan mengusap punggung lebarnya. Keith sendiri hanya melengos dan mengalihkan pandang.

'Tumben banget si curut manggil nama asli gue...'

"Jadi gimana, mau gak?" Lion bertanya, menatap Kanaya penuh harap. Kanaya bingung seketika, otaknya tak bekerja. "Harus di jawab, kak?"

Lion mengangguk dengan semangat. Kanaya menimang sejenak sebelum kembali bertanya. "Kalau aku nolak?"

Raut wajah Lion berubah sedih, hampir menangis malah. Kanaya tak tega dibuatnya, "Iya, aku mau." jawabnya ebari mengambil kalung di dalam kotak tersebut.

"Serius?!" Azreal memastikan, takut kupingnya kemasukan semut jadi dia salah dengar.

Kanaya mengangguk pasti, membuat Andreass menjunjung tubuhnya tinggi lalu memutarnya di udara dengan gembira.

"AKHIRNYA GUE PUNYA ADEK CEWEE!!!" teriaknya senang, yang lain juga tampak senang. Bahkan Azreal tak henti-hentinya tersenyum.

Tapi, siapa yang tahu kalau kebahagiaan mereka itu hanya sesaat?

'BRAK!!'
"TOLONG ANDA PERGI DARI RUMAH SAYA!!"

Mereka berhenti, menatap pria paruh baya yang di dorong keluar rumah dengan kerasnya. "Ibu!"

Kanaya turun berjalan tergesa menghampiri sang ibu. "Ibu ngapain? Gak boleh begitu, dia--"

"Halah, diam kamu! Kamu juga sama aja!!" sang ibu kembali melayangkan tamparan. Lion mencekal tangan yang hendak memukul Kanaya kembali, sepertinya  kurang jikalau hanya satu.

"Ibu, tolong jangan kasar yah. Dia anak ibu lho!" teriak Coki murka.

Teganya seorang ibu menampar anaknya sendiri yang tak salah apa-apa. Seharusnnya ia  bersyukur memiliki anak sepeerti Kanaya yang menurut Coki luar biasa. Namun, perlakuan kejam malah ia berikan pada Kanaya.

Siapapun pasti akan merah, tentu saja. Coki yang sedari dulu tak tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua saja marah melihatnya.

"Heh, tutup mulut kalian ya! Dia itu anak saya, kalian gak ada hak untuk ngatur ini itu tentang dia!" murka ibu Kanaya.

Kanaya ditarik pergi, masuk ke dalam rumah. "Pergi kalian, pergi dari rumah saya!!"

"An--" Andreass di tahan tuk tak melangkah lebih jauh. "Udah, ayo kita  pulang aja." pria paruh baya itu membawa Lion dan yang lainnya pergi dari sana.

'Kanaya...' Lion beberapa kali berbalik, menatap sendu ke rumah Kanaya.

.

.

.

.

.

Kanaya terduduk di lantai, meringis kecil saat dirasa nyeri pada tubuhnya kembali datang.

Sang ibu berdiri di hadapannya, menatap murka padanya. "Dasar anak gak tau diri..."

"I-ibu..." Kanaya mencicit pelan.

Sapu lidi di angkat, lalu di hempaskan dengan keras ke tubuh Kanaya.

Kanaya hanya bisa memejamkan mata sembari meringkuk, mencoba melindungi tubuhnya.

'Sakit...'

Tak hanya di pukuli sapu, sang ibu mulai menjambak rambutnya. Membuat beberapa helaian rambut rontok.

"Dasar anak kurang ajar! Gak tau diri! Gak tau di untung! Nyesel saya pernah ngelahirin kamu!!"

Kanaya hanya diam, menangis. Ia tak mengerti apa yang ibunya katakan, atau memang sengaja tidak mengerti.

"Ma-maaf... hik, maaf ibu... hik,"

Seberapa kalipun ia meminta, sang ibu takkan melepaskannya. Dan ia tahu betul akan itu, sehingga lebih memilih pasrah pada apa yang dialaminya.

'Hik, kakek...'

.

.

.

.

.

.

Kanaya berjalan gontai menuju sekolahnya. Badannya penuh plester dan beberapa perban melilit tangannya. Belum lagi mata kirinya yang kini harus terhalang eyepatch pemberian Lion.

Aih, Kanaya benar-benar terlihat seperti zombie sekarang. Bahkan beberapa orang yang melihatnya langsung berlari saking menyeramkannya penampilan Kanaya sekarang.

'Burem...'

Kanaya mengucek matanya lelah, pendangannya benar-benar buram. Dan sekarang itu terlihat buta seutuhnya.

'Sakit... kenapa gak mau hilang sih?'

Mungkin efek kelelahan, Kanaya merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.

Sepasang tangan mendorongnya, membuat tubuhnya oleng ke depan. Tepat di jalan raya.

Bersyukur, tubuhnya di tarik kembali. Angin berhembus dengan kencang di hadapannya, sebuah mobil.

Kanaya berguling dalam pelukan seseorang di atas padang rumput. Beruntung, rumput itu bersih, sehingga bajunya tak kotor.

"Kamu gak papa?" suara yang familiar. Kanaya pernah mendengarnya entah di mana.

Ia mendongak, netra sewarna gagaknya bertemu dengan netra abu-abu orang di hadapannya.

Kanaya ingat orang ini, ia pria yang datang bersama Lion dan yang lainnya kemarin.

"Kamu gak papa kan?" pria itu menakup wajah Kanaya khawatir, takut gadis itu kenapa-napa.

Seakan terhipnotis, gumpalan bening membasahi pipi Kanaya. Ia menangis, rasa takut menghantui dirinya.

Wajahnya di bawa mendekat, disembunyikan pada dada bidang pria itu.

"Menangislah kalau memang ingin, jangan menahannya. Menyakitkan melihatmu menahannya, menangislah."

Hari itu, pertama kalinya Kanaya menangis di hadapan seseorang. Menangis dengan begitu memilukan.

'Kanaya, ya? Kamu anak yang baik...'

.

.

.

.

.

.

.

.

Bersambung...

☪೧Lullaby For You೧☪ [HIATUS]Where stories live. Discover now