10: Berteman dengan Cara yang Benar

2.2K 359 13
                                    

"Belanja bulanan, Buk?" Aku terkikik ketika mendapati wajah kesal yang ditunjukkan oleh Abi karena mendengar godaan yang keluar dari mulutku.

Di saat matahari hampir tiba di puncak kepala seperti sekarang, ketika swalayan sedang ramai karena banyaknya orang yang belanja bulanan, aku menemukan Abi yang menjadi salah satu orang yang turut andil meramaikan. Berbeda denganku yang telah selesai antri di kasir, ia justru baru memasuki swalayan dengan mendorong troli. Ada satu catatan juga yang ia taruh di dalam troli itu.

"Kamu sudah selesai?" Aku mengangguk singkat. Untungnya aku datang lebih cepat. Kalau terlambat, mungkin akan lebih banyak orang yang mengantri karena awal bulan adalah saat di mana swalayan sedang ramai-ramainya. Apalagi bisa dibilang swalayan ini termasuk tempat yang lebih murah dibandingkan mall. "Bantuin saya ya?"

"Bantuin apa?" Heranku.

"Belanja." Emangnya dia tak bisa sendiri?

Abi mengambil kertas yang berada dalam troli dan menyerahkannya padaku. Kertas itu lantas aku ambil dan baca satu persatu.

"Bukan yang aneh-aneh lagian. Masa iya gak bisa? Pasti bisa deh, Bi." Aku menaruh kertas itu pada tempatnya dan mulai melangkah pergi. Tapi ia menahan pergerakanku dengan memegangi tas belanjaan yang aku pegang dengan sebelah tanganku.

"Saya traktir makan siang, sebagai bayarannya."

"Kamu pikir saya gak punya uang buat beli makan siang? Ini awal bulan loh, Bi. Saya masih bisa foya-foya kalau saya mau." Mana bisa aku disuap dengan makanan, apalagi di awal bulan? Dompetku masih penuh.

"Es krim mochi kesukaan kamu, sekotak. Gimana?" Dia pintar sekali bernegosiasi.

"Gak mau."

"Kan saya temen kamu. Bantuin ya?" Setelah tau aku tak mempan dengan sogokan, ia memakai cara lain. Kemampuannya membujuk orang memang patut diacungi jempol.

"Oke." Aku iba dengan tatapan memelas itu.

Abi mengambil alih tas belanjaan dari tanganku lalu membawanya keluar dari swalayan. Di balik pintu kaca yang tinggi dan besar itu, aku bisa melihat ia kembali ke mobilnya dan menaruh tas belanjaanku di sana.

Tak lama ia kembali dengan berlari kecil. Tangan itu lantas segera mendorong troli, menandakan kegiatan berbelanja dimulai.

"Padahal gak ribet banget loh, Bi. Barang-barang kebutuhan rumah tangga yang biasa doang." Detergen, pewangi, sabun mandi, sabun pencuci tangan, serta sabun pencuci piring. Tak lupa pembersih lantai, pengharum ruangan dan pengharum kamar mandi, serta sembako dan berbagai keperluan rumah tangga lainnya.

"Itu yang tepung-tepung saya gak ngerti." Tepung memang sedikit membingungkan sih. Apalagi bagi orang yang tidak tau. Tapi kan ada tulisannya.

"Makanya belajar, Bi. Biar ngerti. Masa ngandelin Bu Yumna terus. Sekali-kali kamu yang masak." Laki-laki yang pintar memasak adalah tipe lelaki idaman, menurutku. Tak selalu harus pintar sih sebenarnya, asal bisa.

"Lagian bukan Mama saya juga yang masak, ada Mbak yang bantuin." Ah, aku lupa fakta kalau ia memiliki asisten rumah tangga yang rutin datang ke rumahnya. Aku pernah melihatnya tempo hari.

Sudah pasti Bu Yumna akan susah dalam urusan beres-beres hingga membutuhkan bantuan orang lain. Lagian rumah mereka cukup besar dengan pekarangan yang ditanami oleh banyak tanaman. Mengurus pekerjaan rumah bukanlah hal yang gampang. Itulah yang membuatku kagum pada sosok ibu rumah tangga yang bisa melakukan semuanya. Menjadi ibu rumah tangga juga impianku.

Satu persatu barang kebutuhan sesuai list aku masukkan ke dalam troli. Abi hanya bertugas sebagai pendorong troli. Karena ia tak ada gunanya dibawa selain untuk menggerakkan benda beroda itu. Setiap aku tanya merek berbagai produk yang digunakan di rumahnya pun, ia tak tau.

Di Balik Kacamata [END]Where stories live. Discover now