16: Mencari Alasan

1.9K 355 7
                                    

Hari ini datang lagi. Sama seperti hari lainnya, aku kembali bertemu tanggal yang sama di tahun yang berbeda. Hari ini adalah hari Minggu, yang bertepatan dengan tanggal kelahiranku. Tak ada yang spesial sebenarnya, hanya sensasinya saja yang berbeda. Karena ketika bertemu hari ini, aku merasa kalau waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.

Dua puluh tujuh tahun, tak ku sangka usiaku sudah mencapai angka ini. Tiga tahun lagi, aku akan berumur tiga puluh tahun. Jika umurku sudah kepala tiga, apa yang akan berubah dibandingkan sekarang ya? Aku sangat penasaran akan hal itu.

Sebenarnya aku berharap ulang tahunku datang lebih lama karena aku enggan berhadapan dengan pertanyaan yang belum bisa aku jawab dengan pasti. Tapi aku diajarkan untuk menerima kenyataan itu. Sebab, hari ini pasti akan datang.

Tadi pagi aku sempat saling bertukar kabar dengan ibu. Tak ku sangka ibu ingat kalau aku berulang tahun hari ini. Padahal dulu jika tidak diingatkan, ibu sering kali lupa karena tak rutin melihat kalender. Ibu jadi orang pertama yang mengucapkan selamat atas pertambahan usiaku. Sudah barang tentu diingatkan sejumlah hal, terutama perihal jodoh.

Seorang pria yang tidak aku kenali tiba-tiba menghasilkan sebuah cerita panjang yang keluar dari mulut ibu. Entah siapa pria itu, aku pun tak ingat karena aku hanya mendengarkan sekilas tanpa berusaha untuk menimbang-nimbang tawaran perkenalan yang dicanangkan oleh kedua orang tua. Bukannya mati rasa, aku hanya sedang tak ingin menambah stok kekecewaan. Biarlah begini saja, seperti air yang mengalir. Pada akhirnya, yang menjadi takdirku akan datang dengan bantuan Tuhan. Pasrah? Mungkin.

"Kak, udah bisa dimakan belum?" Ini ketiga kalinya Vika menampakkan wajahnya di kamarku. Baru lima menit yang lalu aku mengusirnya, ia sudah kembali lagi.

"Ya Tuhan bawel banget deh ah. Nanti gak gue kasih loh." ancamku. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk mengecek kulkas sendiri, tapi ia malah bertanya padaku. Kan aku sekarang di kamar, bukan nangkring di dalam kulkas. Mana aku tau.

Pagi tadi aku membuat beberapa bolu yang ukuran tak terlalu besar. Biasanya bolu yang dijual dengan ukuran tersebut laku di pasaran seharga sepuluh ribuan. Aku memilih untuk membuat versi mini karena lebih irit modal.

Sayangnya bolu pertama yang aku buat agak sedikit bantat. Masih enak sebenarnya, tapi aku tak yakin bisa menghabiskannya sendiri. Makanya aku mengakalinya dengan cara mencampur bolu yang bantat itu dengan bahan lain dan jadilah bola-bola coklat. Entah enak atau tidak, aku pun belum mencobanya.

Sebenarnya aku tak kepikiran untuk membuat bolu karena malas. Ini adalah ide anak kuntilanak, sebagai ganti traktiran. Lagian mungkin saja tahun ini adalah tahun terakhir aku bersama dengan mereka. Maka dari itu aku ingin memberikan sesuatu yang berkesan, meskipun hanya berupa makanan.

Melihat mereka makan dengan lahap ketika bolu itu sudah jadi, aku merasa ikut senang. Tapi sepertinya mereka belum puas menghabiskan satu loyang bolu, makanya mereka menunggu bola-bola coklat tadi. Mereka penasaran dengan rasanya. Sama seperti diriku.

Aku membuat dua bolu untuk anak kuntilanak, serta dua lagi untuk Bu Yumna dan Mami Gina. Bonus satu lagi ada bolu yang aku siapkan untuk Bang Dipta karena ia akan singgah ke sini sebentar membawakan titipan ibuku dari Bukittinggi.

"Kak, Bu Yumna duduk di teras sebelah. Nyariin." Bu Yumna?

"Nyariin gue?"

"Iya." Aku sedikit mengerutkan keningku pertanda bingung, tapi tetap bergerak untuk mengambil jilbab instan yang tergantung di belakang pintu kamar. Tak biasanya Bu Yumna mencariku hingga sampai ke kosan. Apakah ada sesuatu yang penting?

Kakiku lantas melangkah menuju ke luar, hendak menghampiri Bu Yumna yang berada di teras rumah Mami Gina. Vika juga mengikutiku hingga aku menuruni teras. Berbeda denganku yang mengarah pada Bu Yumna, Vika justru berbelok menuju ke dapur Mami Gina.

Di Balik Kacamata [END]Where stories live. Discover now