43. Sosok Itu...

2.2K 380 62
                                    

"Kalau mau balik ke Pekanbaru, nanti tinggal di mana? Memangnya Abi sudah punya rumah buat kalian tinggal di sana?"

Ketika sedang bermenung menatap indahnya langit malam, aku tiba-tiba saja teringat kata-kata yang diucapkan Tante Yola tadi. Mulutku tiba-tiba saja menjadi kaku seusai mendengar pertanyaan itu, tak mampu menjawab apapun. Sejujurnya aku juga tak pernah memikirkan hingga ke sana karena mengira Abi sudah pasti ada rencana tentang tempat tinggal kami nanti.

"Naya, suami Uni kamu sebelum nikah bahkan sudah punya rumah sendiri. Abang kamu juga sudah punya rumah sebelum menikahi istrinya. Kalau Abi gimana?"

Uni dan abang yang Tante Yola maksud adalah anaknya. Ia lebih muda dibandingkan ibuku, tapi ia lebih dulu menikah. Kedua anaknya sudah berumah tangga dan punya anak juga. Sementara ibu dan ayah masih punya Azwan.

Kalau Abi mendengar ucapannya, pasti ia akan tersinggung. Syukurlah Abi tak ada saat itu. Meskipun hatiku juga sakit, tapi aku lebih tak tega jika kata-kata itu sampai di telinga Abi.

Kenapa manusia suka sekali membandingkan? Pencapaian mereka tak harus menjadi pencapaian Abi juga bukan? Memangnya syarat untuk menikah adalah memiliki rumah?

Banyak orang yang menikah tapi belum punya rumah sendiri, seperti ayah dan ibuku dulu. Bertahun-tahun kami hidup di kontrakan tapi kami bahagia. Selama itu pula ayah dan ibu menabung hingga bisa memberikan hunian yang lebih nyaman untuk anak-anaknya.

Aku juga salah karena tak pernah bertanya apapun pada Abi. Semenjak pindah dari rumah keluarga ibunya, aku bahkan tak tau persis di mana Abi tinggal. Kalau sudah begini, aku justru merasa malu pada diriku sendiri. Aku seakan tak peduli dan menyerahkan semuanya pada Abi.

"Kenapa gak kerja di sini aja? Biar Abi bisa pulang sekali beberapa bulan. Kalau dia sendiri kan lebih enteng biaya hidupnya."

Apa iya aku memberatkan Abi jika ikut ke Pekanbaru? Lalu aku akan terus tinggal di sini sementara suamiku bekerja di provinsi lain? Kan aku juga memiliki pekerjaan di sana. Tante Yola mengira aku hanya ongkang-ongkang kaki saja ya di Pekanbaru?

"Lagian Abi posisinya di kantor sebagai apa sih Nay? Berapa gajinya perbulan?"

Tante Yola tak perlu tau tentang hal ini. Namun seharusnya aku sudah tau karena aku adalah istri Abi. Pertanyaan itu bahkan tak mampu aku jawab di dalam kepalaku sendiri, saking sedikitnya yang aku ketahui tentang Abi. Aku hanya tau tempat ia bekerja, selebihnya aku tak pernah bertanya.

Ketika mendengar rentetan pertanyaan yang muncul, aku hanya bisa terdiam. Memang sejak awal aku bukan tipe yang banyak bicara pada Tante Yola semenjak kami terlibat konflik. Seperti kata ibuku, kadang selalu ada yang ingin memandang rendah kita. Yang paling menyakitkan adalah ketika dipandang rendah oleh saudara sendiri.

Aku masih ingat kejadian tadi siang secara detail. Setelah menyelesaikan pekerjaanku di belakang, aku langsung masuk ke kamar dan membiarkan Tante Yola hidup dengan tanda tanya besar di kepalanya. Aku masih bisa tersenyum sebelum masuk kamar karena menyaksikan Abi yang tengah berbincang dengan ayah dan saudaraku yang lain di ruang tengah. Para pria selalu memiliki pembahasan menarik dibandingkan wanita. Begitulah keadaan keluarga besarku.

Di saat para wanita sibuk membanggakan diri ataupun keluarga masing-masing, para pria justru bertukar pemikiran tentang banyak hal. Mulai dari keadaan politik, ekonomi, dan sosial. Pembicaraan itu bahkan lebih berfaedah.

"Naya, apa saja yang kamu ketahui tentang suami kamu? Masa iya gak tau satu pun? Kamu beneran istrinya kan Nay?" Pertanyaan terakhir inilah yang berhasil meruntuhkan tembok kesabaran yang telah aku bangun. Karena takut emosi, aku memilih untuk menjauh.

Di Balik Kacamata [END]Where stories live. Discover now