45. Tak Ada yang Instan

2.2K 351 42
                                    

"Kalau mau tidur, tidur aja. Nanti saya bangunin kalau sudah sampai." Aku menggelengkan kepala sebagai respon, meskipun harus ku akui kalau mataku memang agak mengantuk. Bahaya jika aku tertidur karena Abi akan kesepian, walaupun ada musik yang dihidupkan untuk mengurangi keheningan.

Lagipula hanya kurang dari satu jam lagi maka kami akan sampai. Nanggung kalau harus tidur karena aku pasti tak akan puas. Pada akhirnya aku malah pusing karena tidurku belum cukup.

"Gak pengen ngemil lagi?" Abi melirikku sebentar lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada jalanan. Karena hari kerja, jalanan tak seramai saat hari libur. Sehingga kami bisa sampai lebih cepat dari dugaan. Padahal tadi kami sempat singgah untuk makan siang dan ibadah.

"Dari tadi ngunyah mulu, udah pegel. Hampir semua cemilan yang dibeli tadi langsung ludes." Cemilan berbahaya kalau disediakan di mobil, apalagi untuk menempuh perjalanan jauh. Ujung-ujungnya selalu memakan cemilan dan cemilan, karena tak tau mau ngapain lagi.

"Kan dibeli memang buat dimakan." Iya juga ya.

"Mau gantian gak?" tawarku. Abi menggeleng tanpa pikir panjang.

Di awal perjalanan tadi, akulah yang membawa mobil. Meskipun bukan dari rumah, karena mulanya Abi tak yakin kalau aku bisa menyetir mobil. Ketika singgah untuk membeli cemilan, minuman, serta beberapa oleh-oleh, aku menawarkan diri untuk menyetir, karena jalan raya Bukittinggi-Payakumbuh bisa dibilang tergolong rute yang cukup mudah karena jalannya yang lurus.

SIM A yang baru aku perbarui beberapa bulan yang lalu juga aku perlihatkan pada Abi sebagai bukti. Namun ia masih terlihat ragu.

"Kamu takut mobil barunya lecet ya?" Sempat aku tanyakan hal tersebut padanya, karena aku menduga memang itulah alasan Abi tak yakin dengan kemampuan istrinya sendiri.

"Saya lebih takut kamu yang lecet." Meskipun masih sedikit tidak percaya, tapi Abi memberi izin padaku untuk mengendarai mobil. Tentunya aku harus mendapatkan beberapa nasehat dulu. Namun ia tak banyak bicara lagi saat sudah menyadari kalau aku memang benar-benar bisa, bukan sekadar omongan belaka.

Kapan lagi Abi bisa melihat aku menyetir kalau bukan saat perjalanan jauh seperti ini? Apalagi Azwan sempat memujiku karena menurutnya aku keren saat mengemudi.

Kalau dipikir-pikir, ada baiknya juga Uni Zia dulu menyuruhku belajar menyetir mobil. Siapa yang menduga kalau ternyata jodohku adalah Abi, orang yang tinggal di provinsi lain? Sehingga jikalau aku dan Abi berkesempatan untuk pulang kampung, kami tak perlu mencari sopir pengganti. Kami bisa saling berbagi tugas, tergantung rute yang dipahami dan dikuasai.

Awal mula aku tinggal di Pekanbaru, susah sekali membiasakan diri dengan cuacanya. Baru selesai make up, nanti pasti langsung keringetan. Namun perlahan aku harus menyesuaikan diri bukan? Lagipula kondisi ini yang tak mampu aku kontrol karena berada di luar kuasaku sebagai manusia biasa. Cara satu-satunya adalah membuat diriku terbiasa dengan sendirinya agar aku lolos seleksi alam.

"Maaf kalau rumahnya mungkin gak sesuai sama ekspektasi kamu." Dugaanku adalah kami hampir sampai. Karena Abi mulai membahas tentang rumah.

Aku tak pernah berekspektasi apapun tentang rumah Abi. Karena bagiku, fungsi rumah adalah tempat berlindung dari teriknya panas matahari serta derasnya hujan. Kalau aku sudah bisa berlindung dari hal tersebut, maka aku sudah sangat bersyukur.

"Kamu jangan nyebelin deh, Bi. Mau bagaimanapun rumahnya, saya pasti suka kok. Yang penting kita gak kepanasan, gak kehujanan, itu lebih dari cukup. Saya justru sangat bersyukur kamu punya rumah sendiri. Karena saya sudah pernah rasain gimana rasanya hidup ngontrak tiba-tiba diusir."

Rasanya sungguh tidak mengenakkan sekali. Bahkan yang lebih parah ada juga pemilik rumah yang meminta kami pindah padahal baru satu bulan kami tinggal di sana dan uang sewa sudah dibayar untuk jangka waktu setahun ke depan. Terima dengan lapang dada? Tentu tidak. Rumah itu sudah menjadi hak kami untuk setahun ke depan, karena itu kami mempertahankannya meskipun harus adu mulut.

Di Balik Kacamata [END]Where stories live. Discover now