Kepedulian Tidak Terlihat

214 51 4
                                    

Hari ini sudah tepat satu minggu Baretha koma, dan tak ada tanda-tanda Baretha akan sadar. Baretha masih betah dalam dunia mimpinya.

Di pagi buta, Bara seperti biasa membersihkan tangan dan kaki Baretha. Sudah satu minggu setiap pagi sebelum ke sekolah, Bara menyempatkan dirinya menjenguk Baretha.

"Gue harap tangan lo selau bisa gue genggam." Ujar Bara dengan tangan yang menggenggam erat tangan Baretha.

"Kamu belum berangkat ke sekolah nak?" Tanya Ani yang sekarang sudah berada di belakang Bara.

"Ini mau berangkat tante."

"Terima kasih selalu nemanin putri tante."

"Sama-sama tante." Ani mengusap kepala Bara. Bara menganggukan kepalanya kemudian menyalami tangan Ani.

"Aku berangkat tante." Bara pun keluar dari ruangan Baretha dan bersiap menuju ke sekolahan.

Bara berjalan menuju parkiran di mana motornya terparkir, kemudian Bara menaiki motor dan langsung pergi ke sekolah.

Jalanan yang cukup sepi membuat Bara tidak mengalami hambatan menuju ke sekolah. Setelah menempuh waktu selama 20 menit, akhirnya Bara pun sampai di sekolah.

Bara memarkirkan motornya dan segera berjalan menuju kelas, di saat Bara berjalan tiba-tiba Angkasa menghalangi jalannya.

"Bar, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Kata Angkasa dengan wajah yang sendu.

"Apa?" Wajah Bara hanya datar tanpa ekspresi

"Kita ngomong di sana."

"Oke." Bara dan Angkasa pun duduk di pinggir lapangan basket.

Karena masih cukup pagi, masih belum banyak yang datang ke sekolah dan hal itu membuat sekolahan cukup sepi.

"Jadi lo mau ngomong apa?" Tanya Bara yang tidak ingin terlalu banyak basa-basi.

"Tentang Baretha, dan gue mau ngembalikan gelang-gelang Baretha yang pernah di sita sama guru BP." Angkasa memberikan sebuah kotak kecil yang berisi beberapa gelang Baretha.

"Sebanyak ini gelang dia?" Bara tertawa kecil ketika melihat gelang-gelang Baretha yang begitu banyak di sita.

"Dia sangat menyukai gelang Bar, tapi ada satu gelang yang tidak ingin dia serahkan meskipun harus di hukum."

"Gelang yang mana?"

"Gelang itu." Tunjuk Angkasa pada gelang Bara yang ada pergelangan tangannya itu.

"Gelang menjadi pasangan lo itu adalah gelang kesayangan Baretha. Apa lo tau dia pernah di hukum bersihin toilet karena nggak mau gelangnya di sita?" Ucapan Angkasa spontan membuat Bara langsung memalingkan wajah pada Angkasa.

"Apa?!"

"Kadang Baretha itu bodohkan, apa lo percaya gue pernah suka sama dia?"

"Terus lo di tolak?"

"Bukan di tolak, tapi gue mundur. Karena Baretha cewek yang baik nggak pantas buat cowok bangsat kaya gue."

"Dia terlalu polos." Bara dan Angkasa pun tertawa.

Bara merasa itu tidak mustahil karena perempuan seperti Baretha pasti banyak yang suka. Hanya dirinya saja yang tidak pernah melihat kebaikan Baretha di awal, Bara sudah telat untuk menyadarinya.

Bara menatap gelangnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Angkasa menghela nafas pelan dan kemudian menatap langit yang terlihat cerah.

"Gue pernah marah sama dia, saat dia coba masuk PMR. Gue nggak mau kehilangan orang yang sudah menjadi happy virus di organisasi gue. Tapi setelah dia bilang masuk PMR demi lo akhirnya gue izinin dia." Bara mengerutkan keningnya dengan ucapan Angkasa.

BAR-BAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang