41 : Lost

684 155 198
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Semua pengunjung yang hanya penting uangnya saja itu mulai berhamburan karena takut. Hal ini membuat hanya karakter-karakter utama yang tersisa. Hawa panas mulai menyelimuti Mantra, Wira tampaknya mulai serius.

"Maju sini, keparat Martawangsa ...," tutur Wira sambil memprovokasi Jaya yang berdiri menatapnya tajam dari balik topeng Bapang.

Nada menoleh ke arah kotak yang kini terjatuh di lantai karena ditinggalkan pemiliknya, ia berjalan ke arah kotak itu dan ingin melihat apa yang membuat Jaya jadi seperti itu.

"Aaaaaaaaaaaaaaa!" teriakan Nada membuat semua menoleh ke arahnya, kecuali Jaya. Nada terduduk lemas menatap kepala Kiweng di dalam kotak.

Wira yang melirik ke arah Nada akibat teriakan itu, kini kehilangan Jaya dari pandangannya. Ke mana orang itu ....

"Wira awas!" Mendegar teriakan Dewi, Wira melesat ke depan, karena Jaya kini sudah berada di belakangnya dan hendak menyerang. Kali ini Jaya meregangkan jari-jarinya, ia siap untuk mencabik. Tangan itu membuat darah tertumpah di lantai Mantra Coffee. Punggung Wira terkena sabetan cakar Jaya secara horizontal.

Bukan Wira namanya jika mengeluh karena luka gores begitu, Wira yang melesat kedepan segera memutar tubuhnya dan menopang tubuhnya dengan kaki terkuatnya di depan. Sedikit injakan dengan seluruh kekuatannya, Wira mengumpulkan tenaga pada engkel kakinya untuk segera melesat. Ketika kakinya melangkah untuk melakukan serangan, Wira kini memindahkan fokus atma dari engkel kakinya ke telapak tangannya, ia melesat ke arah Jaya.

Jaya juga cepat, ia kali ini mengincar leher Wira, sepertinya Jay benar-benar kehilangan dirinya. Terpampang jelas tatapan kosong penuh air mata di wajahnya. Ketika Jaya melesatkan tusukan, Wira menepis itu dengan tangan kirinya sehingga Jaya bergerak agak ke kanan dan kehilangan pusat gravitasi. "Tapak Geni." Wira langsung menghantam perut Jaya dengan telapak tangannya. 

Dari balik topeng Bapang, darah keluar, sepertinya Jaya memutahkan darah akibat serangan itu. Kini rasanya seperti organ-organ dalamnya terbakar api. Namun, meskipun ia terluka, Jaya yang sekarang seperti tak merasakan sakit, ia memutar tubuhnya dan menendang kepala Wira hingga Wira terpental mundur.

Ketika Wira hendak bangun, tiba-tiba cakar itu tepat berada di depan matanya. Orang ini enggak waras! Dia terlalu brutal!

Namun, sebilah pedang menolong Wira dari cakar Bapang. Pria bertopeng senyum dengan pakaian serba hitam melindungi Wira dari Jaya.

Siapa orang ini? Sial, pembaca pasti bertanya-tanya, batin Wira.

Di tengah itu semua, Melodi berlari ke arah Jaya dan berusaha menenangkannya. "Jaya, please, udah, aku mohon ...."

"Mundur!" teriak Wira. "Dia bukan Jaya yang kamu kenal!"

Sejenak Jaya hampir kembali, tetapi mendengar teriakan keras Wira, otaknya merespon sebuah ancaman. Bapang menoleh ke arah Melodi. Kini Melodi berdiri tepat di hadapan Jaya. "Tenang ya ... kamu bisa cerita ke aku kalo ada masalah, oke?"

"Masalah?" Separuh kesadaran Jaya mulai kembali. Namun, samar-samar ingatan tentang Wengi kembali mengusik kewarasannya.

"Aku akan membantu mewujudkan impianmu."

"Impian?" Jaya mulai bergumam tak jelas mengingat perkataan Wengi. Ia menangis, tetapi juga marah. "Impian apa?"

Melodi tak mengerti apa yang digumamkan oleh Jaya, tetapi ia yakin bahwa Jaya sudah mulai tenang.

Mantra Coffee : Next GenerationWhere stories live. Discover now