143 : Keluarga

377 95 19
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Hutan Larangan, Tasikmalaya.

Sinar mentari pagi perlahan menembus lebatnya rimba. Dua orang manusia berdiri menghadap ke arah Hutan Larangan.

"Kau sudah siap?" tanya Anjana pada Jaya. Ia menarik pedang bayangan keluar sarungnya.

"Ya, selalu siap," balas Jaya yang menempelkan Bapang pada wajahnya.

Mereka melangkah memasuki sisi utara Hutan Larangan. Tempat yang sudah lama tak terjamah manusia. Anjana dan Jaya membabat rimba dengan senjata mereka. Mungkin kalian berpikir, kenapa mereka harus repot-repot menggunakan senjata mereka hanya untuk membabat hutan?

Sebuah lesatan angin melesat cepat ke arah Anjana. Ia dengan sigap langsung memotong angin itu hingga terbelah secara horizontal.

Jaya sempat merasakan embusan angin barusan. "Angin apa itu tadi?"

"Buka matamu lebar-lebar," balas Anjana.

Jaya menoleh ketika mendengar suara pohon roboh dari arah belakang. Ia terbelalak menatap dua pohon besar yang terbelah setengah batangnya. Menyisakan setengah bagian bawahnya.

"Jangan lengah, kamu tidak punya waktu untuk memikirkan apa pun di sini," ucap Anjana.

Dari arah depan, sebuah gelombang angin kembali hadir. Kali ini mengarah pada Jaya. Dengan lengan Bapang, Jaya menahan serangan tersebut, tetapi rasanya cukup menyakitkan, meskipun ia tak menerima luka.

"Sebenarnya angin apa itu?" tanya Jaya.

"Celurit Jatayu."

"Celurit Jatayu?" tanya Jaya mengerutkan kening.

"Pusaka turun temurun penyandang gelar Ashura Chandratama," jelas Anjana. "Celurit itu mampu melesatkan gelombang atma angin dan membuatnya menjadi setajam pedang."

Anjana dan Jaya berhenti melangkah. Mereka merasakan hawa membunuh yang pekat dari radius beberapa kilo di depan.

"Bersiap," gumam Anjana.

Sebuah lesatan yang lebih cepat dan lebih kuat melesat ke arah mereka. Kali ini gelombang angin itu cukup besar. Anjana dan Jaya membelah gelombang bersamaan, kemudian mereka berlari maju sambil menangkis serangan bertubi-tubi.

Jaya memicing ketika telinganya mendengar sebuah gumam-gumam tanpa wujud. Ia segera memasang wujud resonansi. "Resonansi jiwa!"

Rupanya bukan hanya Jaya. Anjana pun mengeluarkan kemampuannya untuk berpindah dari satu bayangan ke bayangan lainnya.

Benar saja, kali ini angin yang melesat itu sangat tajam dan lurus menghujam bagaikan tombak. Jika saja Jaya tak menggunakan mode resonansi Bapang, ia takkan mampu menahannya.

Intensitas serangan semakin sering dan akurat. Jaya dan Anjana mempercepat langkah mereka. Berlari sambil menangkis dan menghindari angin yang semakin tajam.

"Sampai kapan kita akan seperti ini?" tanya Jaya.

"Sampai kita menemukan si pembuat serangan ini. Ayah kita," jawab Anjana.

"Ayah gila model apa yang menyerang anaknya sendiri?"

"Karena ia tak tahu siapa yang datang memasuki wilayahnya. Terlebih, mungkin ia menganggap kita sudah tewas dalam insiden penyerangan malam itu," jelas Anjana.

Mantra Coffee : Next GenerationWhere stories live. Discover now