42 : Sang Pemilik Nama

654 157 84
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Emil yang terpukul oleh Jaya dan terhentak agak mundur karenanya, kini menarik rambut Jaya tanpa menoleh ke arahnya, dengan cepat Emil membenturkan wajah Jaya ke lututnya, membuat perban di kepala Jaya terlepas. Emil menyeringai menatap tato Peti Hitam di kening Jaya. "Halo junior," tutur Emil senior.

Jaya yang terhentak mundur, kini memegangi wajahnya yang terkena serangan Emil, sambil menatap tajam ke arah Emil. "Sudah hampir delapan belas tahun saya hidup menggunakan nama Emil, dan selama itu saya enggak sudi dipanggil dengan nama milik orang lain."

Emil yang terlalu bodoh untuk mencerna kata-kata Jaya, kini memicingkan matanya, ia benar-benar tak mengerti ucapan Jaya. "Terserah!" Mantan anggota Peti Hitam itu melangkah maju dan melancarkan jab ke arah wajah Jaya dengan tangan kirinya. Jaya berusaha menghindar, tetapi tangan kanan Emil sudah memprediksi pergerakan Jaya, dengan sangat keras tinju itu menghantam rahang Jaya hingga ia terjatuh. Sorak-sorak penonton semakin keras memeriahkan pertarungan itu.

Jab adalah pukulan pembuka dalam olahraga tinju. Pukulan jab berupa pukulan lurus ke depan, bisa mengarah ke muka atau badan lawan. 

"Bangun, penantang." Emil memberikan kode dengan tangannya, ia menyuruh Jaya untuk maju. "Jadi, siapa ketua Peti Hitam sekarang?"

"Saya pimpinannya," ucap Jaya bangkit dan menerjang Emil. Ia melancarkan pukulan ke wajah Emil, tetapi Emil menangkap tangan itu dan memukul keras wajah Jaya lagi dan lagi.

"Setiap turun generasi malah makin letoy," ledek Emil. "Ketuanya begini gimana yang lain?"

"Mengamuklah, Bapang ...." Jaya menggenggam topeng Bapang di tangan kanannya.

"Oi, oi ... itu, kan?" Emil terkejut melihat topeng Bapang. Namun, seketika itu seringainya terpampang di wajahnya. "Begitu, ya ... dia mempercayakan Bapang padamu? Apa kabar si Bayu itu?"

Jaya membulatkan matanya utuh mendengar nama Bayu. "Jangan sebut nama itu lagi!" Menggunakan Bapang, ia melesat ke arah Emil.

Emil Wijayakusuma, sedari ia masih hidup dan berkomplot dengan Peti Hitam, dirinya ingin sekali melawan Bayu untuk menentukan siapa yang terkuat. Kini di hadapannya ada penerus Bayu, tentu saja Emil tak pernah merasa sesenang ini.

Jaya meninju wajah Emil, tetapi Emil sama sekali tak bergerak dan masih menatap ke arahnya dengan penuh tekad. "Oi, oi ... bukan begitu caranya menggunakan Bapang." Hawa membunuh yang keluar dari tubuh Emil membuat Jaya merinding dan mundur beberapa langkah karena tekanan tersebut. Emil melepaskan kancing-kancing kemejanya dan melemparnya ke arah Frinza. Kini ia bertelanjang dada sambil menatap Jaya dengan tegas. Sorot matanya yang tajam membuat Jaya gemetar.

"Bloodlust ...," ucap Frinza yang juga merasakan tekanan tersebut.

"Kekeke teknik dasar keluarga Wijayakusuma untuk menekan lawannya dan seolah memberitahu bahwa yang berdiri di hadapannya adalah kematian," balas Uchul.

Saya--takut? batin Jaya yang gemetar dan bertanya-tanya. Ini kali pertamanya ia berhadapan langsung dengan seorang Wijayakusuma yang mampu mengeluarkan hawa membunuh tingkat tinggi.

Emil berjalan ke arah Jaya, setiap langkah majunya membuat Jaya melangkah mundur. "Kalau kau itu anak Bayu, atau muridnya, atau apalah sebutannya ... aku tidak akan segan membunuhmu. Aku tidak akan menahan diri menghadapimu." Perlahan wujud Emil berubah. Ia menjadi agak besar, dengan bulu dan corak harimau. Taring-taringnya yang basah karena liur membuat Jaya semakin merinding. "Jangan gemetar! Hadapi aku secara jantan, Bayu junior."

Mantra Coffee : Next GenerationDonde viven las historias. Descúbrelo ahora