123 : Gugur Bunga

591 136 209
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Chandra baru saja selesai mengemas barang-barangnya untuk pergi ke Amerika. Selain study, ada sesuatu yang harus ia lakukan di sana.

Chandra Yudistira, pria itu tak banyak bicara. Ia berjalan keluar kamar dan hendak pergi ke ruang tengah. Langkahnya terhenti ketika mendapati ayahnya yang tergeletak di depan pintu. Kei sedang berbaring di lantai. Chandra menghela napas, lalu berjalan ke arahnya.

"Oi, bangun, Oi." Chandra menggoyangkan tubuh Kei.

Bukannya bangun, dengkurannya malah semakin menjadi-jadi. Chandra sudah biasa melihat Kei yang tiba-tiba tertidur. Pemuda itu menggendong ayahnya di pundak dan membawanya ke kamar.

"Chandra ...," ucap kei lirih.

"Ya?"

"Dulu ayah yang gendong kamu kalo kamu ketiduran di ruang tv. Inget? Sekarang kamu yang gendong ayah. Ayah baru sadar ternyata kamu udah sebesar ini." Kei terkekeh sambil memeluk Chandra dari belakang.

"Terus selama ini belum sadar?" tanya Chandra datar.

"Mau sebesar apa pun kamu. Di mata ayah kamu tetaplah seorang pria kecil."

"Aku udah dewasa," balas Chandra. "Yahhh ... mungkin kalo Surya baru bisa dikategoriin pria kecil, tapi aku enggak."

"Ya, kalian berdua udah dewasa. Terimakasih udah bawa Surya kembali, ya, Nak."

Langkah pemuda itu kini berada di depan kamar Kei. Ia membuka pintu dan berjalan ke tempat tidur. Chandra membaringkan Kei di kasur, lalu hendak pergi. Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti lagi lantaran Kei menarik tangannya.

"Nak, malam ini ayah mau tidur dipangkuan kamu ... boleh?"

Chandra kembali. Ia duduk di kasur Kei dan agak mengangkat Kei hingga kepala pria itu berada di pahanya. Kei terseyum tipis. "Terimakasih ...."

Pemuda itu memijat pelan kening Kei sambil membelai lembut rambutnya. "Sama-sama."

Keadaan hening seketika. Hingga Kei lagi-lagi bergumam. Wajah pria itu terlihat getir seperti orang yang sedang bermimpi buruk. "Chandra ... kamu marah sama ayah?"

Chandra mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti, tiba-tiba Kei berkata seperti itu. "Marah kenapa?"

Kei tersenyum, tapi dari sudut matanya ada air yang luruh ke kasur. "Gara-gara ayah ... kamu enggak pernah ngerasain gimana rasanya punya sosok ibu."

Chandra menutup mulut Kei. "Yah, apa pun itu. Aku bersyukur jadi anak ayah. Seandainya aku bisa memilih orang tua ketika lahir, aku adalah anak yang berdiri paling depan untuk jadi anak ayah meskipun tau resikonya. Semua ini takdir. Wanita yang melahirkan anak seorang Yudistira pasti adalah wanita yanga sangat kuat. Meskipun ibu tau ibu akan mati ketika melahirkan seorang keturunan, tapi dia tetep memilih buat melahirkan aku. Aku dan Surya bangga punya orang tua sehebat kalian. Kami enggak akan menyia-nyiakan hidup yang kalian berikan dan kekuatan yang kalian wariskan. Jadi jangan sedih." Chandra menghapus air mata Kei, lalu mencium keningnya. "Buang pikiran itu jauh-jauh, Yah."

"Terimakasih. Ayah juga bangga sama kamu dan Surya." Kei membuka mata. Ia mengusap pipi Chandra. "Nak ... malam ini sebaiknya kamu berangkat. Besok takutnya banyak kendala. Kalo kamu berangkat sekarang, kamu bisa istirahat di rumah temen ayah yang ada di deket bandara, atau sewa hotel. Kabarin Dewi, kalian berangkat malam ini. Nanti pak Warso antar. Kalo ayahnya Dewi bilang besok aja, bilangin lagi. Ini perintah ayah."

Mantra Coffee : Next GenerationWhere stories live. Discover now