BAGIAN 22

485 102 13
                                    

PART ini lebih panjang nih. Selamat membaca yaaa. Jangan lupa VOTE dan KOMEN.

***

META.

DUA COWOK

Aku sedikit terguncang mendapati satu DM dari salah satu platform pendidikan terbesar di Indonesia. Apa aku nggak salah lihat? Mereka ingin menjadikanku Brand Ambassador program mereka? Seorang Meta, yang biasanya berbicara di depan kamera, beberapa minggu lagi akan pergi ke Jakarta? Menghadari grand opening program terbaru mengenai pengembangan diri di kalangan remaja dan dewasa muda.

Dadaku masih sesak. Sebuah gerakkan yang awalnya kulakukan demi berbagi sudut pandang lewat istagram ternyata sudah berjalan sejauh ini. Kukira, mungkin hanya akan ada pekerjaan yang dilakukan secara online. Endorse, promosi, atau campaign apa pun yang dilakukan secara online. Namun saat ini, aku ada di titik yang lebih tinggi. Hadir sebagai orang yang benar-benar terlihat di mata umum.

Mendapati DM itu, aku buru-buru menghubungi Sandrina. Tanpa waktu panjang, dia langsung menyahut dengan suara nyaring.

"Ada apa?" Itu pertanyaan yang menyebalkan. Sebagai manager, seharusnya dia sudah tahu apa yang akan kusampaikan.

"Ada apa!" Aku mengerucutkan bibir, mengikuti caranya bicara. "Nyebelin."

"Hahaha." Suara tawanya terdengar renyah. "Soal Ruang Kesehatan Mental ya?"

"Kenapa nggak ngasih tahu soal itu?" Aku mondar-mandir di depan ranjang.

"Sebenarnya selain menghubungi di DM instagram, CEO-nya udah kontakan sama aku lewat WA. Aku belum ngasih tahu kamu karena mereka masih menyiapkan MoU-nya. Rencananya, aku akan kasih tahu semuanya setelah berkas jadi."

Biasanya, aku nggak serajin itu melihat DM di media sosial. Sandrina selalu jadi kaki tanganku dan melakukan apa saja. Nah setelah pindah ke Bandung, aku jadi lebih sering melihat media sosial. Apalagi setelah pekerjaan mengedit dan upload video aku ambil alih.

"Lagian, kenapa sih semangat amat?" Sandrina menanggapi lagi. "Jangan terlalu sering lihat medsos deh. Tugasmu bikin konten aja. Capek kalau lihat medsos terus."

Itu ucapan yang menohok. Pasalnya, aku juga mulai membaca berbagai komentar. Dan aku baru sadar jika konten edukasi pun masih banyak yang menghujat. Dibilang jualan ludah, sok-sok-an motivator, dan berbagai bully-an lain. Dulu aku nggak sadar karena jarang sekali bersinggungan dengan medsos, ada Sandrina juga. Nah sekarang, semua itu jadi terlihat nyata. Beberapa kali, bahkan aku terenyak membaca komentar-komentar itu.

"Sepertinya kamu benar, Drin." Aku menelan ludah. "Sehari kemarin, aku mikirin beberapa komentar netizen juga. Apa aku kejauhan ya? Maksudku, kok berani-beraninya aku bikin konten. Padahal aku sendiri masih bobrok."

"Eits ....." Terdengar jeda yang cukup lama. "Kita udah ngobrolin ini di awal-awal lho. Kamu kan niatnya sharing sesuatu yang kamu pelajari. Kamu hadir untuk berbagai sudut pandangmu. Bukan untuk ngajarin orang."

"Tapi sama aja ...." Aku mengembuskan napas. "Ternyata nggak semudah yang aku kira."

"Udah!" Sandrina menyumpal mulutku secara halus. "Mending kamu fokus ke konten. Masalah netizen, biarin aja. Kan kamu sendiri yang bilang. Kita nggak mungkin bisa membahagiakan semua orang. Gimana sih kamu?"

Aku mengangguk-angguk. "Thanks, Drin."

"Yes, Memet!"

"Apaan sih Mumat Memet. Kayak Gaya aja!" Aku mencebik.

"Gaya, Gaya, Gaya ....." Sandrina terkekeh. "Sudah lebih dari dua minggu aku nggak denger ceritamu soal Gaya. Dia apa kabar?"

Ucapan itu membuat aku menyadari banyak hal. Setelah kejadian masak bareng di rumah Gaya, semuanya berjalan normal. Aku tetap lari pagi dengan Gaya. Gaya juga tetap datang ke kosan dengan dalih ngecek ini itu. Namun, ada satu yang berubah. Selama weekend, kami nggak jalan bareng. Weekend seolah hari-hari larangan antara aku dan Gaya. Sebab di hari itu, hanya ada aku dan Praha.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now