sorry, 2021

409 71 2
                                    

Hari-hari di Los Angeles sudah tak begitu berwarna, bahkan Sunwoo seperti tak bernyawa. Kehilangan sosok Papanya, yang harap dia semua ini tak nyata.

Namun apa daya, masih terpaku dengan setumpuk buku yang ia pelajari kini, pikiran Sunwoo melayang pada hari lalu. Di mana sang Papa datang memberi semangat, agar Sunwoo lantas bisa menyelesaikan pendidikannya.

Baru saja ingin memulai, Sunwoo rasanya sudah menyerah.

Harusnya Sunwoo bisa kembali. Tidak ada yang mengaturnya lagi. Tapi Sunwoo rasanya tak punya nyali. Menghubungi Eric saja harus berpikir berulang kali.

Apa kata “maaf” bisa membuat Eric kembali pada Sunwoo?

Sunwoo bahkan tak yakin ia akan dimaafkan atas perbuatannya yang pergi secara tiba-tiba, tanpa memberi alasan yang jelas.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Sunwoo datang memberi kejutan?

Apa layak memberi berbagai macam hadiah, padahal Sunwoo sudah dicap laki-laki terbrengsek sepanjang masa.

Maka dari itu, daripada mencari pelarian lain, Sunwoo mengambil ponselnya. Menghembuskan napas dalam, jari-jarinya mengetikkan kalimat dengan hati-hati. Sebelum ponsel ia letakkan kembali diatas mejanya.

Tak lama ponselnya bergetar. Notifikasi pesan membuatnya lantas beranjak, keluar dari kamarnya untuk menemui sang Mama yang sedang mengemasi barang-barang.

“Mama, mau kemana?”

Mama menoleh, tersenyum tipis. “Ah, enggak. Ini Mama cuman nata barang-barang Papamu.”

Sunwoo terdiam, mengangguk kaku. “Ma, boleh tanya?”

“Tanya saja. Kenapa meminta ijin?”

Sunwoo menunduk ragu, membasahi bibirnya sebelum bertanya. “Apa Sunwoo boleh pulang?”

Hening sejenak. Sang Mama menatap Sunwoo dalam diam, sebelum meresponnya. “Kamu udah janji apa sama Papa?”

Sunwoo menelan ludahnya kasar. “Kuliah di sini, gak akan pulang sampai lulus.”

“Nah, apa Sunwoo mau ngelanggar janji?”

Sunwoo menunduk. Rasa bersalahnya semakin besar karena mengingat Eric sama sekali belum diberitahu alasan ia pergi karena itu mendadak sekali.

“Masalah Eric ya, Sunwoo?”

Sunwoo mendongak, menatap Mamanya sejenak lalu mengangguk pelan.

Mama tersenyum tipis, memegang bahu Sunwoo. “Kamu pasti bimbang karena mau ketemu Eric tapi gak pengen buat Papa kecewa.”

Sunwoo mengangguk lagi.

“Kalau gitu, hubungi saja Eric, Sunwoo.”

Sunwoo menatap Mamanya dengan raut wajah sendu. “Sunwoo takut Eric gak akan maafin Sunwoo.”

Sang Mama tersenyum, sembari mengelus surai anaknya lembut. “Eric pasti ngerti kamu. Mama tau kamu gak sempat ngasih tau alasan kamu pergi ke Eric. Hubungi dia, beritau alasannya dengan jujur— Eric pasti mengijinkan.”

Sunwoo menatap Mama-nya sedih.

“Dalam sebuah hubungan, komunikasi satu sama lain itu perlu, Sunwoo. Kalian cuman butuh itu, Eric bingung karena kamu gak ngasih tau keadaan sebenarnya.”

“Maaf, Sunwoo yang salah. Sunwoo gak mau liat Eric sedih.”

“Jangan minta maaf ke Mama, minta maaf ke Eric. Kalau kamu kuliah di sini tanpa ngasih tau Eric, kamu pasti akan gelisah, Sunwoo. Hubungi Eric, minta maaf ke Eric, pertahanin hubungan kalian sebisa mungkin. Jangan hancurin kepercayaan yang dibuat Eric ke kamu Sunwoo. Selagi ada waktu.”

Sunwoo menghela napas. Mengangguk, sebelum berjalan masuk ke dalam kamarnya lagi. Menatap ponselnya yang masih menyala karena notifikasi pesan dari temannya— Jeno.

Eric baik-baik saja di sana.

-----

Eric menguap, mengucek matanya. Lehernya kaku dan sulit digerakkan karena posisi tidurnya salah. Melirik jam diatas nakas, menunjukkan pukul sebelas malam— beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju dapur mengambil segelas air dan masuk ke dalam kamar lagi.

Menegak air digelas hingga tandas, Eric menatap jendela luar. Jalanan sudah sepi, malam semakin larut, namun rasa kantuk Eric entah kenapa hilang.

Bertopang dagu, Eric mendengar suara musik yang mengalun pelan dari rumah sebelahnya. Lagu bermelodi sedih dengan suasana sepi, membuat Eric ikut terhanyut dalam permainan piano yang didengarnya.

Sunwoo yang sampai sekarang belum menghubunginya— entah kenapa.

Eric menghembuskan napas berat. Dipandanginya secarik kertas yang terlipat diatas meja, Eric mengambilnya.

Sendu. Kertas itu bertuliskan wish list mereka selama berpacaran. Sayang, diantara sekian harapan yang mereka tulis, hanya ada satu yang belum terwujud.

Menikah.

Waktu itu, Sunwoo yang menuliskannya. Eric hanya malu-malu. Bagaimana tidak, mereka masih sekolah dan si Kim sudah membahas tentang pernikahan. Padahal perjalanan hidup mereka masih panjang.

“Nanti aku bisa lamar setelah lulus.”

“Lulus kuliah ya, Sunwoo. Aku gak mau nikah muda.”

Respon Sunwoo hanya tertawa.

Mengingat kenangan itu saja membuat Eric semakin sedih. Apakah mereka bisa mewujudkannya? Mewujudkan harapan terakhir yang mereka impikan bersama?

Rasanya seperti mustahil.

Melipat kertas itu, Eric letakkan kembali. Jauh-jauh dari pandangannya, sebisa mungkin agar tak membuatnya semakin tersiksa.

Lantas Eric beranjak, berjalan menuju tempat tidur. Merebahkan tubuhnya, bersiap menjemput mimpi tengah malamnya lagi.

Lima menit Eric memejamkan mata, ia sudah tenggelam dalam tidur nyenyaknya.

Tanpa tahu ponselnya bergetar memunculkan notifikasi pesan yang selalu Eric tunggu kehadirannya.

Satu kalimat berbentuk utuh, entah apa yang jadi respon Eric saat membacanya.

“Eric, apa kabar? Sunwoo kangen..”

hari ini kayaknya double update ((KAYAKNYA))
ya semoga aja gak ada halangan dah update lagi ntar malem ((smoga aku gk lupa klo punya cerita yang harus dituntasin wkwkw))

btw cerita ini udah kutulis sampe ending..

jadi... aku mau minta maaf dulu di sini deh, kalo ceritanya agak gimana gitu.. ((jujurly ini sedih mengingat ending kurang memuaskan))

mellifluous, sunric ✓Where stories live. Discover now