BAGIAN 24

393 95 15
                                    

Saatnya uwu-uwuan. Hehehe. Selamat membaca. Jangan lupa vote dan komen ya.

***

META.

Kawah Putih

Bau belerang menubruk penciumanku. Awalnya agak mual, tetapi pada akhirnya, semua berlalu begitu saja. Aroma itu seolah nggak mempan lagi. Aku lebih terpaku kepada hamparan danau dengan air berwarna putih di hadapanku. Juga berbagai pohon yang masih menancap dengan daun gundul. Sementara di kejauhan, terlihat tebing yang beberapa bagian ditumbuhi pohon tinggi dan besar, mengelilingi tempat ini.

"Bagus nggak?" tanya Gaya.

"Bagus." Aku berkata jujur. "Hampir mirip dengan Talaga Bodas yang ada di Garut. Cuman Talaga Bodas lebih luas."

"Wih, kamu pernah ke sana?" tanya Gaya lagi.

"Pernah. Sama Bapak. Waktu SMA, ada kegiatan dalam pembelajaran Bahasa Sunda. Nah, kita harus mencari tahu tentang sejarah Talaga Bodas ke orang-orang sekitar sana."

"Kalau saya ke Garut, ajakin main ke sana ya?" Gaya terkekeh.

"Boleh ....."

Pertanyaan Gaya terasa aneh di telingaku. Memangnya, dia bakal ke Garut? Memangnya, kami bakal bisa ditakdirkan untuk menginjakkan kaki sama-sama di kampung halamanku? Tentu, pemikiran itu membuat aku semakin bingung. Praha muncul di pikiranku secara tiba-tiba! Dia selalu merusak imajinasiku jika berkenaan dengan Gaya. Seolah dua orang ini tidak bisa disatukan.

Gaya menarik gitar yang dibungkus case di punggungnya. Gitar itu diambil dari vila. Kata Gaya, gitar akustik berwarna coklat itu menjadi teman yang kadang-kadang bisa lebih dekat dari apa pun.

"Kamu mau saya nyanyiin lagu apa?"

"Apa aja yang kamu bisa," jawabku.

"Yang kamu mau aja!" tegas Gaya. "Jarang lho, artis papan atas nawarin diri begini."

Aku terkekeh sambil mendorong Gaya. Sampai-sampai, batang kayu besar yang kami duduki terguncang.

"Mmmm, gimana kalau lagu Dere yang judulnya Kota. Kamu tahu nggak?"

"Itu salah satu lagu kesukaan saya. Sering banget dipakek latihan saat di studio." Gaya terlihat bersemangat.

"So?" Alisku terangkat.

Tanpa menunggu lama, Gaya memetik gitar dengan jari-jemarinya yang lihai. Jujur, aku nggak tahu jenis petikkan itu. Kunci atau jenis nadanya pun sama sekali asing di telingaku yang hanya penikmat musik. Tapi saat aku dengar bunyi gitarnya, suaranya terasa enak di telinga. Itu mendakan jika permainan gitar Gaya cukup baik.

Aku menikmati intro dari lagu itu. Terutama saat melihat mimik wajah Gaya yang menghayati. Ah, suaranya bahkan belum keluar, tapi kenapa lagu itu terasa sendu? Apa mungkin karena suasana di sini juga sepi? Kami seperti duduk di surga, milik berdua. Sementara satu dua pengunjung yang berjalan-jalan di kejauhan hanya menumpang.

"Udara mana, kini yang kau hirup. Hujan di mana, kini, yang kau peluk. Di mana pun, kau kini .... Rindu tentangmu tak pernah pergi."

Ternyata Gaya langsung mengambil reff dari lagunya. Otomatis, aku ikut bernyanyi meski hanya bergumam. Suara Gaya yang empuk, berhasil membuatku sulit berkata-kata, bahkan untuk sekadar ikut mengiringi.

Lagu itu terus bergema, berbarengan dengan angin yang tertiup dari arah depan.

"Yeeeeeeah!" Aku bertepuk tangan saat Gaya memetik gitar untuk terakhir kali.

"Seneng?" Gaya menatapku dalam.

"Banget!"

"Lebih seneng mana. Sama saya saat ini, atau Praha?"

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now