Chapter 10 : Past

2.3K 248 47
                                    

Duar! Kembali lagi dengan author kalian yg disayangi eya eya~

Yosh! Untuk saat ini, maaf banget publish nya lama, soalnya ni Author dua duanya udah sekolah tatap muka, jadinya waktu Kosongnya udah ilaaang, semoga kalian mengerti yaaa

.


.


.

Enjoy~

"Kau yakin tidak ingin kami antar?" Taufan berusaha menahan tawanya, tak baik menertawatakan orang yang memperhatikannya, tapi ayolah ini sedikit berlebihan.

"Tidak usah kak Hali, aku bisa berangkat sendiri. Lagipula kalian juga harus ke kampus satu jam lagi," tolak Taufan sembari mengibaskan tanganya.

"Bagaimana kalau ada yang menggangumu?" tanya Gempa.

"Aku pasti akan baik-baik saja, aku bisa menelepon kalian jika terkena masalah," balas Taufan menunjuk ponselnya.

"Tapi tetap saja aku cemas," keluh Halilintar.

Pagi ini Taufan memutuskan untuk kembali bersekolah, setelah katanya terkana skors selama satu minggu. Bukan masalah pergi ke sekolahnya, yang Halilintar khawatirkan adalah keadaan Taufan di sekolah nanti.

Dia masih mengingat jelas bagaimana reaksi Taufan saat saudaranya membicarakan soal teman-temannya, itu pasti bukan pertemanan yang baik.

"Kalian terlalu berlebihan tapi aku menghargai itu semua, sudah ya aku pergi dulu." Pada akhirnya sang manik saphhire meninggalkan rumah itu, walau raut cemas masih terpampang di wajah kedua orang itu.

"Apa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk?" tanya Gempa pada Halilintar.

"Harusnya sekarang tidak lagi," balas Halilintar.

"Oh ya minggu ini jadwal kak Hali yang mengunjungi orang tu-"

"Aku baru ingat ada kelas tambahan pagi ini, kau bicara dengan yang lain ya." Halilintar memotong ucapan Gempa bergegas pergi ke kamarnya.

"Masa aku lagi," keluh Gempa.

==

Langkah kaki yang di bawa perlahan mengiringi langkah dengan tenang, teringat jika masih terlalu pagi untuk cepat sampai ke tempat yang mereka sebut sekolah, namun sepertinya tidak bagi dirinya.

Tapi mau bagaimana lagi, hanya disana satu-satunya tempat dimana dia akan mendapatkan pengakuan akan nilai pengetahuan, menyebalkan.

Dalam perjalanannya Taufan mulai memikirkan hal yang membuatnya bingung juga nyaman, "Mereka sangat mencemaskan diriku, inikah rasanya kasih sayang."

"Mereka menyayangiku, karena aku katanya mirip dengan saudara mereka, oh ya ampun pasti Taufan sangat dimanja sebelum akhirnya aku datang," gumam Taufan.

"Tapi bagaimana bisa Taufan bisa tidak ada, bagaimana mungkin mereka tidak mau memberitahuku sedikitpun tentang apa yang terjadi, dan orang tua Taufan ah maksudnya aku?"

"Kalau saudara-saudaranya seoverprotektif seperti itu, apalagi orang tuanya, pasti hidup Taufan dipenuhi kebahagiaan, apa tak apa aku mengambilnya?" monolog Taufan.

"Hei Cyclone, wah kau sudah masuk lagi bagaimana liburanmu selama satu minggu pasti mengasikan bukan?" Seseorang tiba-tiba merangkul pundaknya sedikit keras membuat lamunan manik sapphire itu buyar.

You're Not Wrong!Where stories live. Discover now