BAGIAN 28

352 85 15
                                    

GAYA.

Reaksi Anak-anak

Gedung studio yang biasanya nggak pernah saya amati, kini tertangkap mata cukup lama. Gedung ini seperti memberikan sinyal bahwa dalam waktu dekat, saya mungkin nggak akan menginjakkan kaki di sini. Warna catnya yang memudar, beberapa lapisan cat yang mengelupas, serta lumut di ujung-ujung genting, seolah mengulurkan tangan dan bilang: jangan pergi.

Pelan, saya melangkah dengan gerakkan agak bungkuk. Bahkan, punggung saya pun tidak mampu menegak ketika semua organ tubuh bekerjasama untuk menolak keputusan ini. Ya, keputusan untuk benar-benar mengirimkan lamaran kerja itu, dua hari lalu.

"Wih, Bro!" Abar berdiri dari kursi di depan drum tua milik studio. "Tumben agak siang?"

Pertanyaan itu disambut kelakar keras dari sisi Abar. "Si Gaya mah pasti ngapel dulu sama tetangga sebelah!"

Jawaban itu seharusnya mampu membuat saya tertawa, atau minimal, membanyol balik. Tapi detik ini, saya sama sekali nggak bisa melakukan itu. Saya hanya tersenyum, lantas menarik kursi dan duduk di hadapan mereka.

"Pandu ke mana?" tanya saya.

"Ka Garut. Si eta atuh. Udah dapet cewek mah anteng!" Abar memajukan bibir. "Kayaknya mau nembak."

"Keren banget." Saya menanggapi dengan agak kaku.

Jawaban itu rupaya memancing kedua teman saya untuk turun dari atas panggung yang tingginya hanya setengah meter. Mereka ikut menarik kursi, lalu duduk di hadapan saya.

"Kunaon?" Wastra melirik Abar.

Abar mengangkat bahu.

"Ada yang ingin saya omongin," jawab saya untuk memenuhi hasrat ingin tahu mereka. "Entah ini bakal bikin kalian senang atau enggak."

"Apa? Ngomong aja!" Abar terlihat nggak sabar. "Meni geuleuh ih, si Gaya. Biasanya juga asal jeplak!"

"Saya ngelamar kerja."

"Serius?" Alis Wastra terangkat.

"Bagus atuh." Abar terkekeh pelan. "Kalau kamu kerja, setidaknya kami tidak merasa bersalah karena nggak pernah iuran buat sewa studio tiap bulan. Kerja di mana? Masih bisa latihan kan?"

"Itu dia ...." Saya menelan ludah. "Saya ngelamar kerja di salah satu hotel di Jakarta. Bibi saya general manager di sana. Ya, saya mendapatkan informasi itu untuk mengisi salah satu kekosongan. Awalnya saya menolak. Tapi Mama .... kalian tahulah gimana Mama."

Sekarang, raut wajah Abar berubah redup. "Di Jakarta?"

Aku mengangguk.

"Ulah becanda wae atuh, Gay. Serius ini teh?" Wastra memepetkan badan ke arah saya.

"Dari tadi saya serius." Saya menatap mereka satu per satu. "Dulu, saya masih bisa nolak apa pun keinginan Mama. Tapi sepertinya, ini adalah titik terakhir saya membantah. Lagian, saya butuh masa depan. Barangkali ini memang masa depan yang bagus buat saya."

"Jadi menurutmu, band kita itu nggak ada masa depannya?" Wastra menyambung. "Terus lamun kitu, kenapa dulu kamu ngajakin kami? Kamu sendiri yang bilang kalau kita punya peluang, Gay. Kamu yang bikin kita semangat."

Saya bungkam, tidak bisa berkata-kata.

"Terus sekarang gimana?" tanya Abar.

"Siap-siap," ucapku pelan. "Cari kerjaan lain dari sekarang. Barangkali, band kita bakalan ...." Ucapan itu menggantung. Saya memilih menggeleng. "Intinya, saya nggak bisa janji bisa nemenin kalian di band ini."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن