BAGIAN 29

358 86 19
                                    

META.

Tentang Gaya

Insight instagramku beberapa hari ini menurun drastis. Wajar. Ada salah satu foto yang diarsipkan. Beberapa video juga dimatikan kolom komentarnya. Aku baru sadar, ternyata di balik orang-orang yang membutuhkan berbagai pertolongan dan motivasi, ada pula orang-orang yang menggunakan media sosial untuk cari gara-gara, dan merecoki kehidupan orang lain. Menyebalkannya, beberapa di antaranya bahkan ada yang DM dengan membabi buta.

Kamu beneran pergi dari rumah? Terus ninggalin orangtua gitu aja? Ya ampun. Aku kecewa sama kamu! Ternyata hal yang ditampilkan di media sosial berbanding terbalik dengan aslinya!

Met! Pulang sono! Jangan jadi anak durhaka! Bapak lu nyariin!

Nggak kebayang jadi orangtuanya. Dia menelantarkan Bapaknya di kampung. Eh, dirinya malah enak-enakkan di kota orang!

Jangan ngelonte mulu, Met. Bapakmu nyariin.

Itu beberapa DM yang masuk. Tentu, aku hanya bisa mengusap dada. Ya Tuhan, kenapa orang lain bisa sekali berkomentar tanpa tahu faktanya?

Tenang Met. Ingat konsep dikotomi kendali. Kamu nggak bisa ngendaliin mereka. Kamu hanya bisa mengendalikan reaksi diri sendiri terhadap mereka!

Aku menghela napas, kemudian tersenyum lagi. Pesan-pesan tadi aku hapus tanpa ampun.

Setelah melihat pesan itu, aku sedikit terperanjat karena Sandrina menelepon menggunakan fitur video call. Dengan cepat, aku mengangkatnya.

"Kenapa, Bu?" tanyaku pelan.

"Bapakmu nih!" Sandrina mengusap dahi. Terlihat frustrasi. "Dia neror terus buat nanyain alamatmu. Katanya mau nyusulin kamu ke Bandung."

"Hah?" Aku berdiri dari ranjang. "Jangan dikasih! Apa pun alasannya."

"Tapi aku harus gimana, Met?" Sandrina menggeleng. "Gila ye. Tiap hari aku setres tahu nggak. Baru aja bahagia karena udah jadian sama Pandu. Eh, ada gangguan lagi dari ketua maung. Bikin aku nggak mood."

"Selain minta alamat, Bapak nanya apa lagi?"

"Banyak hal!" Sandrina menggeleng. "Soal Gaya. Beuh, dikuliti. Soal kontrak kerja dengan perusahaan itu juga nanya."

Mendengar Sandrina bicara soal Gaya, tentu saja aku langsung melotot. "Kamu bilang apa soal Gaya?"

"Ya semuanya aku bilang. Tentang dia yang deket sama kamu. Tentang dia yang anak dari pemilik kos. Terus tentang dia yang ....."

"Aduh, Driiiiin!" Aku menepok jidat. "Kenapa dibocorin sih?"

"Tapi gara-gara itu, akhirnya aku bisa berkelit!" Sandrina memonyong. "Sebelum dia tanya soal alamatmu lagi, aku pura-pura dipanggil Ibu. Akhirnya teleponnya bisa kututup."

Aku mengusap dada.

"Tapi tetap aja. Dia neleponin aku terus. Meskipun aku nggak pernah angkat lagi." Sandrina menghela napas. "Kapan sih kamu pulang? Duh, hidup aku jadi berantakkan gara-gara itu. Mau sampai kapan? Lambat laun, Bapakmu bakalan makin nekat. Awalnya, dia neleponin. Lama-lama, bisa aja dia datang ke rumahku."

"Udah deh, Drin. Jangan bikin semuanya makin keruh!" tegasku. "Intinya, kamu tahan sebisa mungkin supaya dia nggak perlu tahu alamatku. Apa pun caranya. Aku percaya sama kamu."

"Huh. Lempar batu sembunyi tangan. Aku lagi yang jadi tumbal!" Sandrina merutuk. "Terus, itu si Gaya, kenapa lagi sih?"

Belum tuntas satu masalah, sekarang ada satu pembahasan baru lagi.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang