BAGIAN 31

324 86 17
                                    

GAYA.

SYOK

"Lahap banget makannya," ucap Mama sesaat setelah saya mengambil satu centong nasi lagi. "Di café sana nggak dikasih makan?"

"Ya elah, Ma. Gaya makan banyak, salah. Kalau nggak makan, ditanyain. Gimana sih?"

"Ya pengin tahu aja." Mama menjawab pelan.

Saya kembali melahap nasi anget. Untuk kedua kalinya pula, saya mengambil sayur asem dan membuat nasinya seperti ikan yang berenang di kolam.

"Gay, tadi Mama hampir pingsan lho."

Kata-kata Mama membuatku mendongak cepat. "Kenapa? Nonton sinetron lagi? Terus nangis-nangis lagi?"

"Bukan. Ini kejadian tadi sore. Kamu pan nggak ada di rumah."

Saya menghentikan aktivitas makan. Rasa-rasanya, sesuatu yang diobrolan Mama akan sangat menarik. Dari siang sampai sore, saya memang latihan nge-band sama anak-anak. Malamnya langsung nyanyi tanpa pulang dulu.

"Mama kan lagi masak ya. Eh, tiba-tiba ada yang ngetuk pintu." Mama menggeleng. "Pas Mama buka, ada laki-laki tua. Heran dong. Siapa? Tanya Mama ke dia. Dia hanya jawab, 'Bapaknya Meta!'" Kali ini, Mama berdecak dengan mata masih melotot. "Nyeremin, Gay. Ih, pantes si Meta kabur dari rumah. Wajah Bapaknya emang keras gitu. Mama saja sampe takut." Mama memelankan suaranya. "Beneran kamu mau sama si Meta? Nanti tidak kuat punya mertua seperti itu."

Penjelasan Mama membuat badanku menegak. "Ma, please. Jangan bahas-bahas soal mertua dulu. Ini mama nggak bohong, kan?"

"Buat apa bohong?" Mama mendelik. "Parahnya, sepertinya mereka teh berantem. Mama sempat dengar teriakkan-teriakkan Meta. Ditambah, anak-anak kos juga pada laporan setelah kejadian."

Saya yang awalnya ingin makan lebih banyak mendadak kenyang. Tentu, saya langsung mengambil HP di saku, kemudian menghubungi Meta dengan gerakkan cepat. Mama hanya geleng-geleng. Dia tahu gimana sikap anaknya kalau sudah khawatir.

"Duh, nggak aktif!" Saya berucap gusar. "Apa Meta ikut Bapaknya, Ma?"

Mama memberenggut. "Henteu. Bapaknya balik sendirian. Mama diam-diam ngintip dari jendela kok."

Mendengar ucapan itu, saya buru-buru berdiri.

"Mau ke mana?"

"Mau ke kosan. Saya khawatir sama Meta."

"Jangan!" Mama langsung mengangkat telunjuk. "Kamu lupa? Mama sudah larang kamu ke kosan. Apalagi ini sudah malem. Gimana nanti komentar para penghuni kos? Ganggu pisan!"

"Gaya nggak peduli! Gaya pengin tahu keadaan Meta!" Saya melangkah, tetapi setelah sampai di depan pintu dapur, saya berhenti bergerak saat Mama berbicara lagi.

"Meta pasti lagi sedih," ucapnya. "Biarkan dia menenangkan diri, Gay. HP-nya saja mati. Pasti karena dia tidak mau dihubungi siapa-siapa. Mama yakin, ke kosan pun, Meta tidak akan bukain pintu."

"Dari mana Mama tahu kalau Meta nggak bakal bukan pintu?"

"Gini-gini juga Mama teh pernah muda. Tahu rasanya sakit hati. Tahu rasanya sedih."

Ucapan itu membuat saya diam sejenak. Saya yang awalnya menggebu-gebu memilih balik lagi ke meja makan. "Ya udah, Gaya ke kamar aja." Saya mengambil ponsel yang tadi disimpan di atas meja. "Semoga Meta baik-baik saja."

"Dia pasti baik-baik saja." Mama tersenyum tulus. "Percaya sama Mama."

Saya mengangguk, lantas balik kanan.

Langkah saya masih tetap terburu-buru saat memutuskan untuk naik ke lantai atas. Saya mencoba lagi menghubungi nomor Meta, masih nggak aktif. Saya juga menelepon Sandrina. Nomornya aktif, tapi nggak diangkat.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang