BAGIAN 32

328 82 5
                                    

META.

KEJUTAN

Saya melirik ke arah Pandu, Wastra, Abar. Mereka sedang tertawa di lantai yang menyerupai panggung. Sementara, saya meneguk air setelah berlatih dua lagu bersama mereka. Dalam satu ruangan saja, saya seperti bukan bagian dari band saya sendiri. Saya seperti orang yang terpojok sendiri karena sama sekali nggak masuk ke dalam obrolan-obrolan mereka.

"Du ...." Saya berucap agak canggung.

Tawa mereka terhenti, disusul dongakkan Pandu dengan wajah mendadak lempeng. "Napa?"

"Saya mau tanya sesuatu, penting." Saya menatapnya tajam. "Harus sekarang."

Wastra melirik Pandu. "Cepetan gih, bos kita mau ngobrol."

Entah kenapa, kata-kata 'bos' yang keluar dari mulut Wastra membuat saya sedikit risi. Bos! Ucapan itu seperti ejekkan. Jika biasanya saya terhibur, saat ini saya hanya mengelus dada.

Pandu mendekat dengan gerakkan lemas. "Naon?"

"Maneh ngasih nomor saya ke Sandrina?" tanya saya tanpa basa-basi.

Sejenak, Pandu terdiam. Matanya menerawang langit-langit studio. Hingga muncul satu anggukkan.

"Kenapa dikasih?"

"Bukannya itu hal biasa ya, Gay? Maksud urang, kan Sandrina temannya Meta. Maneh temennya saya. Kebetulan Sandrina minta kontak supaya bisa ngehubungin kalau ada apa-apa. Itu salah ya?"

"Maneh pura-pura nggak tahu atau gimana?" Ucapan saya sedikit meninggi. Hal itu membuat Abar dan Wastra tergopoh mendekat. Suasana jadi terasa agak panas.

"Maksudnya?"

Saya berdiri dari kursi, lalu bergerak satu langkah ke arah Pandu. "Gara-gara maneh, Meta sedih."

"Hah? Naha urang?" Pandu menggeleng. "Bentar-bentar. Urang beneran nggak ngerti sama arah pembicaraan maneh."

"Bapaknya Meta datang ke kosan. Dia maksa Meta buat balik!" tegas saya. "Maneh tahu nggak, sekarang Meta juga sulit dihubungi sejak kejadian itu. Saya nggak bisa ketemu sama dia, bahkan nggak ada akses. Dia menutup diri. Dan ...."

Pandu menggeleng, dia seperti akan membantah sebelum akhirnya saya bersuara lagi.

"Dan dua hari lalu juga, Pak Madi nelepon saya."

Penjelasan itu membuat Pandu melotot. Dia yang awalnya terlihat kikuk, sekarang menggeleng. "Jadi maneh nuduh urang sama Sandrina yang ngelakuin semuanya?"

"Ya siapa lagi?" Ucapan saya makin tinggi. "Pak Madi tahu alamat Meta secara tiba-tiba. Terus dalam waktu bersamaan, Pak Madi tahu nomor saya."

Pandu mengusap rambut, dia terlihat frustrasi. "Soal nomor, urang minta maaf. Urang salah pisan karena nggak konfirmasi dulu. Tapi soal yang terjadi ke Meta, rasa-rasanya nggak mungkin Sandrina menjerumuskan Meta ke hal buruk. Maksud urang, kalau memang Sandrina ngelakuin itu, pasti dia punya alasan. Sandrina kenal Meta jauh lebih lama daripada maneh. Dia juga manager Meta. Dia pasti tahu apa yang mau dilakuin."

"Dan kamu juga baru kenal Sandrina, belum sampe seminggu. Gimana mungkin kamu bisa menyimpulkan sepercaya diri itu?"

Ucapan saya membuat Pandu mendadak diam.

"Udahlah." Saya menggibaskan tangan. "Lupakan, Du. Udah kejadian juga. Sekarang saya mau pulang." Saya berdiri dari hadapan mereka bertiga.

"Lho, latihannya kan belum beres. Baru dua lagu. Gimana sih kamu, Gay!" Abar nyeroscos.

"Biariin!" Wastra bersuara. "Kita itu udah nggak jadi prioritas Gaya lagi. Kita itu jadi buangan sekarang. Maklum, kan dia mutusin buat kerja. Apalagi katanya mau kerja di hotel. Beuh. Bentar lagi bakal punya kehidupan baru."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now