50. End

14.1K 989 73
                                    

Damar melangkah dengan tergesa, masuk kedalam rumah nya dengan perasaan resah. Sumi bilang Dara pergi, pergi ketempat yang bahkan mereka tak tau kemana.

"Dara mana? Kenapa gak di larang!" Ia berseru, menatap Sumi dengan begitu tajam. Tak perduli bahkam jika wanita itu lebih tua dari nya. Kini ia benar-benar merasa murka.

Kaki nya dengan cepat naik kelantai atas, masuk kekamar Dara sekedar berharap jika di sana ia mendapatkan petunjuk.

Namun nyata nya tak ada.

Di kamar yang tak berpenghuni itu, Damar hanya menemukan handpone, dompet, serta jam tangan yang ia berikan untuk Dara kemarin.

Tangan nya menyentuh jam yang terdapat bercak darah di permukaan nya, mengusap nya dengan amat lembut.

"Maafin Papah Dara. Maaf karna gak bisa lindungin kamu dari kemarahan bunda."

Damar meremas jam itu, "Papah yakin kamu gak salah, Dara anak baik. Gak mungkin mau nyakitin ka Ratu."

Ia menatap kearah benda yang ia genggam, mengerjap kecil saat ingat jika jam yang ia berikan ini bisa merekam suara. Dan Damar sudah men-setting nya.

Bibir yang sejak tadi terkatup rapat mulai mengukir senyum tipis, berniat mendengarkan apa yang belakangan di alami sang anak.

Cukup lama ia mendengarkan, percakapan-percakapan Dara dengan beberapa orang yang berbicara dengan gadis itu. Namun sejauh ini tak ada yang Damar kira mencurigakan.

"Di sini lo ternyata?"

Lelaki itu terdiam sejenak.

"Ka Celisa?"

Lelaki itu mem-paus rekaman nya.

"Celisa?" Cicit nya pelan.

Damar menghelanafas resah, melirik kearah telepone genggam nya yang seketika berdering dengan nama Azka yang tertera.

"Hallo?"

"Ke RS sekarang! Dara–"

Tut!

Tak mendengarkan apa yang Azka katakan selanjut nya, Damar bergegas mengantongi jam yang ia genggam.

Ia ingin menunjukan pada Viola jika Dara tak bersalah. Ia yakin itu, dengan bukti jam tangan ini.

"Papah datang sayang, Papah ada buat Dara."

~•~

Dingin, adalah satu kata yang kini Dara rasakan. Dengan baju basah terkena hujan. Gadis itu masuk kedalam Apartemen sederha milik nya dan sang Mamah.

Sudah cukup lama hingga di rasa debu bertebaran di mana-mana.

Dengan langkah tersoek gadis itu berjalan kearah kamar. Duduk di atas kasur dengan perasaan hampa.

"Bunda bilang lebih baik Dara mati kan?"

Gadis itu meremas rambut saat kepala nya terasa amat sakit. Bahkan luka-luka di sekujur tubuh nya pun belum di obati.

"Tapi kalo Dara mati, apa Mamah mau terima? Apa Mamah juga bakal percaya kalo Dara gak buat ka Ratu luka?"

Dara mengangguk samar, "Ya! pasti mamah terima!"

"Mamah sayang kan sama Dara?" Tangan nya meraih sebuah bingkai foto yang menggambarkan diri dan dan Fiona dulu. "Mamah pasti terima Dara kan di surga?"

"Di sini, aku udah gak punya siapa-siapa lagi." Air mata nya seketika menetes. Merembas membasahi pipi nya yang lembab. "Jadi– Ajak aku mah."

"Ajak Dara ketemu Tuhan."

SUNYI [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang