BAGIAN 35

307 86 22
                                    

Ahem, Gaya datang lagi nih. Jangan lupa komen dan vote yaaa.

***

GAYA.

Pilihan

Saya menghela napas keras saat HP berdering untuk kesekian kali. Beberapa jam terakhir, kedipan layar ponsel seperti virus mematikan yang selalu membuat saya tegang. Terutama jika seseorang yang menghubungi saya adalah .... Meta. Sialnya, suara dan getaran yang bercampur aduk itu datangnya dari nomor Meta lagi.

Kata Mama, sore tadi Meta datang ke rumah untuk pamit sekaligus mengakhiri masa sewa kosan. Mama juga menjelaskan panjang lebar mimik wajah Meta yang terlihat berat meninggalkan kosan. Berdasarkan penjelasan Mama, Meta pergi karena terpaksa. Dia merasa bahwa kosan ini sudah tidak aman. Ironisnya, yang membuat Meta merasa tidak aman adalah bapaknya sendiri.

Angkat, Bro!

Ketimbang mengangkat telepon yang masih terus berdering, saya memilih melangkah ke arah meja. Saya melirik laptop sejenak. Sejak mengirimkan email lamaran, saya belum menerima informasi apa pun. Barangkali, ada balasan?

Ditemani nada dering ponsel yang semakin mengeras, saya membuka email di laptop. Benar saja. Saya ketinggalan informasi selama sehari. Ada balasan masuk yang terkirim pada hari kemarin. Kontan, saya menegak. Saya tidak menyangka bisa melangkah sejauh ini.

Kami telah mereview berkas-berkas yang Anda kirimkan. Maka dari itu, kami mengundang Anda untuk melaksanakan interview pada ....

Saya terenyak saat melihat email itu. Interview akan dilaksanakan seminggu lagi di Hotel Damara, di Jakarta Pusat. Saya yang dari dulu ingin selalu tinggal di Bandung, pada akhirnya harus pergi juga. Ya, meskipun cuma untuk beberapa hari.

"Ma ...." Saya berteriak, membuat suara sinetron di ruang tengah mendadak berhenti.

"Kenapa?"

"Sini gera. Gaya punya info penting."

Tanpa menunggu waktu lama, Mama datang dengan wajah lempengnya. Khas ibu-ibu, dia sok jual mahal saat masuk ke kamar dengan mata sedikit menerawang.

"Mama nggak mau denger informasi dari Gaya?"

"Informasi apa?"

"Nih, Mama lihat sendiri." Saya menggeserkan laptop ke arahnya. "Gaya dapat panggilan."

Ucapan itu membuat Mama melotot, disusul tawaan keras dan pelukkan yang begitu erat.

"Alah Gaya ...." Mama menggeleng. "Tuh, kata Mama juga apa. Kamu teh pantes kerja di tempat-tempat begini. Mama yakin, kamu pasti diterima."

"Jangan terlalu berekspektasi deh, Ma." Saya menjawab pelan. "Kalau Gaya nggak diterima gimana?"

"Pasti ditarima! Yakin pisan da Mamah mah."

Mama masih terus mengoceh. Sementara saya sadar kalau HP sudah berhenti berbunyi dari tadi. Ya ampun. Wajah Meta kembali berputar di otak. Saya merasa bersalah karena membiarkannya begitu saja. Mendengarkan Meta berbicara seperti membuat saya terasa semakin lemah.

Terutama karena terlalu banyak tanda yang muncul akhir-akhir ini. Ditelepon Pak Madi, Meta yang mendadak pindah, dan sekarang, saya mendapatkan informasi panggilan interview. Bersamaan dengan banyaknya kejanggalan semacam ini, rasa yang awalnya menggebu untuk mendapatkan Meta seperti memudar. Bukan karena perasaan yang menghilang, tetapi karena saya mulai sadar bahwa ini semua nggak semudah yang dipikirkan. Saya terlalu lemah untuk bisa menghadapi keseriusan. Saya yang masih main-main ini kalah jauh oleh Praha dari segi apa pun.

"Gay, nanti pas ke Jakarta, kamu tinggal di apartemen bibimu berarti ya?" Mama melepaskan peluk sekaligus mengagetkan lamunan. "Kalau iya, biar Mama telepon sekarang."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang