BAGIAN 44

408 83 4
                                    

Ahem. Update lagi nih. Jangan lupa ramaikan yaaaa.

***

GAYA.

Berjuang

Saya berjalan cepat, mengikuti Meta dari belakang. Saya sudah menduga jika Meta akan sekecewa itu. Siapa yang nggak kecewa saat orang yang mungkin dia harapkan malah menghilang bagai ditelan bumi? Lantas datang lagi seperti orang yang nggak punya dosa.

Langkah itu terus mengayun, sampai kemudian, Meta memilih duduk di suatu batu, di tengah-tengah perkebunan teh di daerah itu. Tidak jauh dari makam Mamanya. Tentu, saya mengikutinya dan duduk tepat di sisinya.

"Kenapa kamu lakuin itu, Gay?" Meta berbicara dengan sorot Mata ke depan.

"Maaf." Saya menghela napas. "Saya memang pengecut."

Meta tertawa. Tawa itu lebih mirip seperti bentuk lain dari kemarahan. "Terus sekarang ngapain ke sini?"

Saya mengusap rambut yang basah oleh keringat. "Saya sadar banyak hal setelah kejadian kemarin. Kamu memang ada untuk saya."

Ucapan itu seperti bualan, tetapi saya memang seyakin itu. Banyak hal terjadi selama saya bersembunyi.

"Apa yang membuat aku harus percaya ke kamu setelah kejadian itu?"

"Nggak ada sebuah alasan untuk percaya. Kepercayaan akan hadir di hatimu," ucap saya. "Saya nggak punya berbagai pembelaan di sini. Saya hanya ingin datang dan mengikuti hati saya. Keraguaan yang saya rasakan beberapa minggu terakhir sudah hilang, tergantikan oleh rasa yakin."

"Jadi, kamu ngilang gara-gara ragu sama aku, sama kita?"

"Saya ragu sama diri saya sendiri."

Perkataan itu membuat Meta sedikit melirik. Baru saya melihat matanya yang berkaca-kaca. Setetes air mata jatuh dan membuatnya mengeluarkan suara isak. "Kamu tahu? Selama kamu nggak ada, aku mencarimu! Aku menggantungkan harapanku ke kamu. Di saat aku meyakini satu hal, kamu pergi. Bahkan tanpa ucapan perpisahan."

Saya mengangkat tangan, kemudian menyeka air mata di pipi Meta. "Semuanya rumit, Met. Saya ada di situasi yang begitu buruk. Kepercayaan diri saya menurun drastis. Band nggak jalan, saya harus memulai semuanya dari nol karena mengikuti keinginan Mama. Dan .... pada saat itu, saya bahkan mendapatkan dua telepon dari dua orang yang berarti di kehidupanmu."

Kening Meta terlipat.

"Ini bukan alasan, ini bukan pembelaan. Tapi kamu harus tahu ...." Saya menarik tangan Meta, mengenggamnya erat. "Met, pada hari kamu dijemput Bapakmu, dia menelepon saya. Menyuruh saya supaya menjauhimu."

Meta melotot. Saya bisa melihat keterkejutan itu.

"Setelahnya, Praha juga menelepon. Dia mengajak saya bertemu. Pada pertemuan itu, saya semakin merasa nggak bisa apa-apa. Praha sudah mengantongi restu dari Bapakmu. Sudah jelas jika posisi saya nggak sebagus posisinya."

Meta menggeleng. "Kenapa kamu nggak cerita ke aku?"

"Buat apa cerita? Buat nyari pembelaan? Pada saat itu, saya sadar betul kalau kamu akan lebih bahagia bersama Praha. Apalagi ...."

"Kenapa?"

"Apalagi saya teringat keinginan kamu untuk bersama laki-laki yang serius. Ketakutan untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius membuat keraguan itu semakin tebal. Bayang-bayang penghianatan laki-laki itu ke Mama membuat saya takut. Saya takut melakukan hal yang sama ke kamu."

"Gay ...." Meta menggeleng. Dia menggenggam erat tangan saya. "Kenapa kamu nggak pernah bertanya langsung ke aku? Kenapa? Kenapa semua orang nggak pernah melibatkan aku dalam semua keputusan-keputusannya? Apa aku memang seenggak penting itu?"

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now