chapter 8

7.2K 703 26
                                    

Entah kemana lagi, Devan akan membawanya sekarang. Entah pengaturan apalagi yang direncanakan pria itu untuknya, Harvy tak banyak tanya, ia memilih diam di sepanjang Devan mengendarai mobilnya.

Mungkin karena ia masih marah ataukah ia telah percaya sepenuhnya bahwa apapun yang Devan rencanakn adalah yang terbaik untuknya, dia telah menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada lelaki itu.

"Kenapa kamu hanya diam?" Tanya Devan yang tak dijawab oleh Harvy, ia masih memilih untuk diam.

"Kamu marah yah sama aku?" Tebak Devan kemudian melihat ekspresi wajah Harvy yang nampak tertekuk.

"Gak." Jawabnya singkat.

"Enggak katanya. Tapi mukamu bilang iya." Balas Devan seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan Harvy barusan.

"Emang mukaku bilang apa?"

"Iya, aku marah." Jawab Devan menirukan suara Harvy yang dilebih-lebihkan. Meski baru kemarin bersama, nampaknya ia sudah cukup familiar dengan Harvy.

"Hah!" Tanggap Harvy yang terlihat kesal. mungkin karena tebakan Devan benar, mungkin juga karena Devan

"Tuh kan marah."

"Kenapa aku harus marah? Apa aku punya hak untuk marah?" Ucapnya yang serasa ia tak punya kendali lagi dengan hidupnya dan itu sungguh mengganggu di telinga Devan.

"Ck, kamu tuh yah, kenapa gak punya hak? Iya punya lah." Balasnya, ia tak pernah ingin mengekang Harvy.  "Kamu itu manusia bukan robot. Kalo ada sesuatu yang kamu gak suka, bilang. Tak semua yang aku lakukan untuk kamu, benar kan?" Lanjutnya.

"Sudah kubilang kan, hidupku ada ditanganmu...." ucap Harvy yang langsung dipotong oleh Devan, suaranya terdengar meninggi.

"Woe, berhenti bilang seperti itu. Kamu pikir, aku sepicik itu apa? mau menolong kamu hanya karena ada apanya. Berhenti terus menganggap hidup kamu ada padaku."

Harvy terdiam kembali dalam waktu yang lama, ia membiarkan Devan merasa tenang dulu. Mungkin memang ia telah keterlaluan, tetapi ia tak ingin menjadi beban untuk Devan. Ia ingin berbalas budi, paling tidak ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk lelaki itu.

"Van, aku tanya sekali lagi, apa kamu tidak membutuhkan sesuatu dariku?" Tanyanya kembali mempertanyakan pertanyaan yang sebelumnya pernah ia tanyakan. Pertanyaan yang menimbulkan ambigu bagi Devan, tapi kali ini, ia hanya menatap Harvy dengan tatapannya yang tajam, seolah itu berarti tidak atau mungkin ia masih kesal.

"Oh." Tanggap Harvy seolah mengerti arti tatapan Devan.

Mereka diam kembali hingga mobil Devan berhenti di sebuah restoran yang terlihat fancy. Tentu saja, orang yang makan di tempat ini adalah orang yang berduit.

"Turun." Pintah Devan dengan nada suaranya yang masih terdengar marah.

"Mau ngapain?" Tanya Harvy menengok masuk ke dalam bangunan itu. Dipikiran dia, restoran ini adalah milik Devan dan tujuan mereka kesini adalah untuk kembali bekerja seperti yang ia lakukan di kafe tadi.

"Ya makanlah." Jawab Devan terdenfar ketus. Ia melepaskan sabuk pengaman yang ia gunakan. Sedang Harvy sendiri tak melakukan apa-apa, dia diam menatap Devan, entah apa yang ada di pikirannya.

"Ayo turun!" Pintah Devan kembali ingin membuka pintu mobil. Namun urung ketika tangan Harvy menarik tangannya. Ia menoleh ke arah Harvy, ingin bertanya, apa yang ia inginkan. Namun sebelum pertanyaan itu keluar dari mulutnya, ia kaget bukan kepalang, saat tiba-tiba Harvy mendekatinya dan menempelkan bibirnya di bibir Devan.

Mata Devan langsung terbelalak, pipinya menggembung, otaknya harus mencerna dalam waktu yang cukup lama hingga tangannya bertindak mendorong Harvy menjauh darinya.

Fall In Love by AccidentWhere stories live. Discover now