chapter 11

6.7K 609 21
                                    

Sebulan sudah Harvy tinggal bersama Devan dan selama itu pula, Devan menyimpan perasaan yang entah bagaimana ia mengartikannya. Semua berawal dari kesalahpahaman, dari ciuman yang berlanjut saat malam dimana Harvy mabuk berat.

Devan sangat benci karena ternyata ingatan itu hanya miliknya seorang,  walau sebenarnya tak terjadi apa-apa juga malam itu. Ia terselamatkan oleh panggilan darurat dari rumah sakit. Namun, fakta bahwa ia pernah berciuman dengan Harvy, itu memang pernah ia lakukan. Kalau dihitung, mereka sudah tiga kali berciuman.

Harvy tak ingat kejadian malam itu, keesokan harinya, ia seperti orang lupa ingatan. Sikapnya terlihat seperti orang tak bersalah, ia kembali menjadi Harvy yang  kaku dan tak banyak bicara.

Mungkin, ini kesalahan Devan juga. Setelah kejadian malam itu, ia menghindari Harvy, beberapa hari ia tak kembali ke apartemen dengan dalih, jadwal operasinya sangat padat. Padahal sebenarnya, ia hanya tak tahu bagaimana menghadapi pria yang telah dengan lancang menyentuh langsung alat kelaminnya.

Akhirnya tak ada yang berubah dengan hubungan mereka. Mereka hanyalah dua orang yang berbagi tempat tinggal bersama atau mungkin hubungan keduanya tak lebih sebagai hubungan boss dan pekerja. Harvy adalah sopir pribadi Devan dan juga seorang waiters di kafe Devan.

Pekerjaan itu masih Harvy lakoni sampai sekarang. Ia sebenarnya tak mengharapkan gaji dari pekerjaannya itu. Ia hanya ingin terlihat seperti orang baik-baik, punya pekerjaan yang layak. Namun kemana ia pagi ini, ia belum menampakkan batang hidungnya. Hanya terlihat Devan yang meski masih pagi, sudah terlihat rapih dengan hand luggage yang ia bawah, sepertinya ia akan bepergian jauh.

"Vi, Avi, kamu masih tidur yah." Panggilnya mengetuk pintu kamar Harvy. Avi adalah panggilan barunya untuk Harvy agar terdengar lebih akrab. Devan pun punya panggilan baru, Evan, panggilan yang khusus hanya Harvy yang memanggilnya. Keluarga atau teman dekatnya sendiri, biasanya memanggilnya Epan.

"Avi, bangun dulu." Panggilnya lagi kemudian menempelkan telinganya di daun pintu.

Tak lama, pintu kamar itu berderak, Harvy muncul sambil mengucek matanya. Ia baru bangun, masih terlihat kusut dengan mata yang sepenuhnya belum terbuka lebar. Ia hanya mengenakan celana pendek tipis setengah paha. Akhirnya, ia tak malu lagi memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang penuh tattoo dan bekas luka kepada Devan.

"Udah mau berangkat yah?" Tanyanya ketika melihat Devan di depan pintu kamarnya. Suaranya terdengar kurang bersemangat.

"Iya, aku jalan dulu yah." Jawab Devan sekaligus pamit kepadanya. Devan akan berlibur keluar kota bersama dengan kekasihnya, Hannah. Liburan ini telah lama mereka rencanakan. Seharusnya di penghujung tahun, sehingga mereka bisa merayakan pergantian tahun di Bali. Tetapi karena kesibukan Devan dan statusnya yang masih terbilang dokter junior, Devan tak punya waktu di akhir tahun itu.

"Mau aku anter?" Tanya Harvy menawarkan diri. Sebagai supir pribadi Devan seharusnya ia tak perlu bertanya lagi, seharusnya sudah menjadi kewajiban dia.

"Gak usah. Aku udah pesan taksi kok." Tolak Devan. "Kamu lanjutin tidur aja, telpon aku kalo ada apa-apa." Lanjutnya. Harvy mengangguk, kemudian lelaki di depannya itu, pamit untuk kedua kalinya.

"Aku pergi yah."

"Oh, hati-hati." Balas Harvy. Meski Devan sudah pergi, sosoknya tak lagi tampak di pelupuk matanya, Harvy masih berdiri terpaku di ambang pintu kamarnya.

Entah apa yang ia pikirkan? Mungkin ia tak rela ditinggalkan sendiri oleh Devan ataukah ia tak rela berpisah dalam waktu yang lama dengan pria yang telah menemaninya lebih dari sebulan belakangan ini. Meski Devan hanya akan berlibur selama lima hari, tetapi bagi Harvy itu adalah waktu yang lama. Sepertinya hidupnya terlalu tergantung dengan pria itu.

Fall In Love by AccidentWhere stories live. Discover now