32. Courting

3.7K 810 52
                                    


"Bang, setelah kupikir-pikir aku tidak umm... mendekati Pangeran Renjun seperti semestinya." ungkap Jeno ntah darimana. Seharian ini memang dia lebih banyak menghayal dibandingkan menyelesaikan tumpukan kertas yang ada di atas mejanya.

"Semestinya bagaimana?" jawab Bangchan dengan malas.

Di ruang kerja mereka kini ada dua meja. Satu untuk Jeno, dan satu lagi untuk BangChan. Setelah Bangchan memberikan kesetiaannya pada Jeno, dibandingkan menggantikan sang Pangeran, kini Bangchan bekerja bersama dengannya.

"Ya kau tau, adat mendekati orang yang ingin kau pinang gaya Phynexia, courting." tegas Jeno dengan tangan bergerak di udara untuk mengempasis poinnya.

"Seperti?"

"Membawakannya bunga, mengajaknya ke pesta dansa, mengenalkannya kepada teman-temanku, pacaran di bawah langit malam, berjalan-jalan di alun-alun kota-"

Bangchan memberhentikan gerakan tangannya yang sedang menulis diatas meja dan menatap Jeno dengan geli dan rasa tak percaya. "Darimana semua contoh itu?"

"Buku romansa dari toko seorang Leora bernama Ten di dermaga." jelas Jeno dengan wajah datar seakan itu hal yang wajar. Ah sahabat Bangchan

Bangchan mendengus dan menggelengkan kepalanya lalu melanjutkan kerjaannya, lebih baik berpura-pura tidak pernah mendengar apa yang Jeno katakan tadi. "Lalu apa yang kau tunggu?"

"Maksudmu?"

"Maksudku kau dapat melakukan semua yang kau sebutkan diatas bukan?"

"Tapi kami sudah bertunangan," jawab Jeno.

"Lalu memangnya kenapa?" tantang Bangchan. Jika saja Jeno mendengar dirinya sendiri, pasti sahabatnya itu akan berkata kotor. Tapi ya tidak bisa sekarang karena Jeno sedang tenggelam dalam awal asmara atau apapun itu yang sedang dia bangun dengan Pangeran Renjun.

"Kau ingin melakukan itu semua dengan Pangeran Renjun kan?"

Jeno tidak menjawab tapi tatapannya pada tumpukan kertas diatas mejanya serasa dapat membakar semua kertas itu hingga hangus.

Bangchan menghela nafas panjang dan menarik kalender yang ada dimejanya. "Aku akan membebaskan jadwal pagimu di hari Senin dan Rabu, agar kau dapat terbang pagi dengan Para Croastrow. Hari Senin dan Kamis tidak boleh diganggu gugat, tapi pada Jumat dan Sabtu sore kalian dapat melakukan apapun yang kalian inginkan." dia lalu menuliskan jam-jam untuk membebaskan Jeno.

"Dan hari minggu?" tanya Jeno yang masih ragu dan tidak percaya.

"Kosong."

"Kau memang sahabat yang baik Bang, terima kasih!" Girang Jeno yang segera berdiri dan merapikan bajunya.

"Kau mau kemana?" Tanya Bang dengan suara yang mulai panik karena sudah ada dugaan apa yang ada di pikiran Jeno.

"Ini Jumat sore, aku ingin ke Kastil Permata Hutan dulu." jawab Jeno dengan cengiran dan segera cepat keluar dan membanting pintu ruang mereka tertutup.


━╋━◇◇◇━╋━


Jeno turun dari kereta kuda dengan rangkaian bunga di tangannya. Sebelum kesini dia sempat mencari tukang kebun kerajaan dan meminta untuk dipetikkan bunga-bunga segar terlebih dahulu.

Sungchan berjalan dibelakangnya ketika mereka masuk kedalam kastil dan bertemu Karina. "Pangeran Jeno," sapa Karina dengan membungkuk.

"Ah Karina, Pangeran Renjun ada dimana ya?"

Karina menatapnya dulu sebelum menjawab. "Dia sedang ada di jembatan kolam belakang dengan para gagak." jawabnya.

Jeno mengangguk dan baru saja akan melewati Karina ketika Karina menahan tangan Jeno.

Belum Jeno bertanya, Karina sudah menyodorkan sebuah buku kepadanya. "Tadi aku ingin mengantarkan buku ini untuk Pangeran Renjun," katanya.

Pangeran kedua Phynexia mengambil buku yang diberikan Karina dan memperhatikan buku bersampul hijau itu. Bukunya tentang tumbuh-tumbuhan tropis yang bertumbuh di Ashia. "Pilihan yang bagus." puji Jeno walaupun Jeno yakin Renjun lebih akan menikmati cerita dibandingkan ensiklopedia. Ya tapi kan Renjun memang dasarnya suka membaca atau dibacakan, jadi buku apapun akan dia nikmati.

Jeno lalu segera melangkah ke taman belakang dan berjalan cukup jauh hingga sampai di kolam kastil itu. Sungchan sudah lama meninggalkan sisi belakang sang pangeran agar dia dapat menghabiskan waktunya sendiri.

Di kolam jembatan, bagaikan memori Jeno kembali melihat Renjun yang dikelilinya gagak-gagak dengan merpati hitam yang bertengker di pundaknya.

Jika Jeno ingat-ingat, dia agak jarang melihat merpati itu. Merpati hitam itu tidak selalu mengikuti Renjun, hanya pada beberapa waktu saja.

Para gagak menggaok menyambut Jeno, Jeno tak akan mengambil dalam hati walaupun suara para gagak seperti biasa ingin mengejek atau menertawakan Jeno. Dia langsung duduk di sebelah Renjun dan menyodorkan rangkaian bunga yang telah dia bawah.

Jeno baru akan mengatakan sesuatu saat seekor gagak datang dan memetik salah satu bunga dari rangkaian itu. "Hei!" pekik Jeno.

Para gagak lain kembali bersuara -menertawakan- Jeno. Jeno yakin akan hal itu!

Dia baru akan meraih bunga yang barusan dipetik ketika gagak itu terbang tepat keatas kepala Renjun dan menjatuhkan bunga itu. Bunga berwarnna merah muda itu jatuh tepat diatas telinga kanan Renjun, dan Renjun meraih untuk merapikan bunga itu.

Para gagak bersorak dan Renjun meraih untuk merapikan bulu gagak yang usil tadi. Merpati hitam yang tadinya duduk di pundak kanan Renjun berpindah ke pundak kirinya sehingga Jeno dapat melihat jelas sebetapa indah bunga itu ada dan menghiasi wajah Renjun.

Jeno benar-benar membatu, apalagi ketika Renjun melihatnya dari antara bulu matanya.

Demi Dewa Phoenix, ternyata gagak-gagak itu ada gunanya juga. Pikir Jeno dalam hati.

Pipinya merona ditatapi oleh Renjun terus, sehinga dengan cepat dia memberika rangkaian bunga ke tangan Renjun dan mengangkat buku hijau untuk menutupi wajahnya. "Ingin kubacakan?" tanya Jeno dengan suara terpatah-patah.

Bodohnya dia, dengan menutup wajahnya maka Jeno tidak dapat melihat apakah Renjun mengangguk atau menggeleng. Tapi untungnya bagi Jeno, dia merasakan lembut tangan Renjun yang memegang satu tangannya dan menarik tangan dan buku itu kebawah dengan pelan.

Begitu bukunya mulai turun dan Jeno dapat melihat wajah Renjun, pangeran Phynexia dapat melihat senyuman satu sudut dari Renjun yang menatapnya lucu.


Jika mungkin, pipi Jeno semakin memerah. Tetapi hal yang bisa dia lakukan adalah membalas senyuman tersebut dengan pipi yang terangkat hingga matanya ikut tersenyum.

Hingga sinar matahari pamit pergi, Jeno dan Renjun duduk di jembatan kolam dengan buku diatas paha Jeno, suaranya yang terus mengalun, merpati hitam di pundak kiri Renjun, para gagak yang puas hanya bertengker di sekitar, dan tatapan Renjun dengan senyuman kecil yang terus melihati Jeno yang serius membacakan buku baginya.


━╋━◇◇◇━╋━


Btw, gue udh lama nyari muter otak gitu. Kan gue blg 'Permaisuri' dan 'Ratu' digunakan hanya untuk menunjukkan jabatan second in command tanpa ada maksud misgendering. Nah tapi kaya tetep aja ngga sih? Trus gue pengen ubah, tapi ubah jadi apa gatau... ada yg mungkin punya ide?

Imperial Shadow ≡ NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang