Chapter 2 || Vas Bunga Bunda.

912 129 22
                                    

"Tidak ada hal lain yang benar-benar membuatku bahagia kecuali cinta dari Ayah, Bunda, Mbak Thesa dan Mas Jendra."

-Candra Sartena.

🕊🕊🕊

Lengkap dengan seragam putih abu-abu dan tas yang dipangku di atas lutut, Candra keluar dari dalam kamarnya dengan kursi roda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Lengkap dengan seragam putih abu-abu dan tas yang dipangku di atas lutut, Candra keluar dari dalam kamarnya dengan kursi roda. Ia menyapa kedua kakaknya yang sudah duduk di meja makan dengan senyum lebar. Jendra membalas senyuman Candra, sedangkan Thesa hanya menampilkan wajah datarnya.

Pagi ini, mereka bertiga tengah menunggu sarapan buatan Bunda. Sembari menunggu, Jendra memainkan game online di ponselnya, Thesa mengetikkan sesuatu di laptop dan Candra hanya diam sembari menatap kedua kakaknya yang sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri.

Ngomong-ngomong soal Ayah, seperti biasa, laki-laki berkepala empat itu tengah berkutat dengan burung-burung peliharaannya di depan rumah.

Sejak ayah kehilangan masa kejayaannya dulu, burung adalah hiburannya. Hingga sampai sekarang, sampai dimana masa kejayaannya sudah kembali, burung tetap menjadi sumber hiburannya di kala kepala hampir pecah karena banyak pikiran.

Tak lama setelah itu, Bunda datang dengan membawa nampan berisi makanan. Bunda meletakkan nampan itu di atas meja makan. "Mbak Thesa bantuin bunda bawa makanan di dapur sebentar," ujar Bunda kepada Thesa.

Thesa mengangguk paham, ia menutup laptopnya kemudian mengikuti langkah sang Bunda menuju dapur untuk membantu membawakan makanan.

"Mas Jendra, panggilin Ayah. Bilangin kalau sarapannya udah jadi," ujar Bunda kepada Jendra.

"Iya, Bun," jawab Jendra sembari berjalan keluar rumah menghampiri sang Ayah. Atensinya masih fokus pada game di ponselnya.

Candra menghela napas panjang. "Sialan. Kenapa harus nggak punya kaki sih. Jadinya kan Bunda nggak bisa nyuruh gue." Lantas laki-laki itu membuang napas kasar. Kalau sudah seperti ini, Candra benar-benar merasa tidak berguna.

Namun, ya mau bagaimana lagi, ia memang tidak terlalu berguna di keluarga ini, pikir Candra.

Sarapan pagi berlangsung sekitar lima belas menit. Semua selesai menghabiskan makanannya masing-masing. Candra hendak mengambil tumpukan piring kotor, niat hatinya adalah ingin mencuci piring-piring itu, namun buru-buru Bunda berkata,

"Nggak usah kamu sentuh. Pecah semua nanti yang ada. Sana kamu siap-siap pergi ke sekolah!" ujar Bunda yang terkesan membentak.

Candra benar-benar langsung terdiam di tempat tanpa bisa berkata apa-apa. Matanya memanas, hatinya pun terasa sangat sakit. Ia memang sudah biasa dibentak oleh Bunda, namun ia belum terbiasa. Jika sudah dibentak, sakit di dada terasa sangat nyata. Memilih untuk abai, Candra lantas melajukan kursi rodanya mesuk ke dalam kamar untuk mengambil kamus bahasa inggrisnya yang masih tertinggal di kamar.

Tinta BiruWhere stories live. Discover now