Chapter 7 || Pelukan Hangat.

463 66 1
                                    

Di dalam cafe yang masih ada dari jaman ia muda sampai beranak tiga hingga saat ini, Sartena sedang duduk menikmati kopi bersama dengan sahabat lamanya yang masih bersama sampai sekarang, namanya adalah David. Ia Papanya Januar.

Sartena memperhatikan setiap sudut cafe. Dulu tempatnya tak seindah ini. Hanya warung kopi biasa. Namun siapa sangka sekarang menjadi cafe tempat anak muda yang gaul dan banyak sekali pengunjungnya. Banyak yang berubah. Dari mulai yang dulunya tembok berwarna putih, kini menjadi berwarna vintage. Lagu-lagu yang terputar pun sudah tak lagi sama seperti dulu. Menu favoritnya masih ada, tapi menikmatinya, tak setenang ia di masa muda dulu.

Semakin bertambah umurnya, semakin hilang rasa tenang dalam hidupnya sebab masalah yang terus datang silih berganti.

"Ada masalah apalagi sama Ahista?" David bertanya setelah menyeruput kopi hitamnya.

Sartena menghela napas panjang. "Dia kasih gue pilihan, pisah atau buang Candra ke orang tua gue."

"Wahhh, gila tuh cewek!"

"Apaan lo ngatain istri gue gilaa?!"

"Nggak kok."

"Gue harus gimana, Vid?"

"Ya pilihan lo gimana? Lo harus bisa milih. Lo pertahanin salah satu dari mereka. Tapi, kalo nantinya lo milih Ahista, Candra biar tinggal sama gue sama Januar aja," kata David.

"Gue nggak bisa ngelepasin mereka berdua. Kenapa serba salah banget, sih!" Sartena menyugar rambutnya frustasi, kemudian menghela napas panjang dan menyalakan rokok untuk kesekian kalinya.

"Lo belum kasih tahu Ahista yang sebenernya?" tanya David.

"Gue nggak tahu gimana ngomongnya. Itu pun entah dia percaya atau enggak," jawab Sartena. Kemudian menghisap sebatang rokok yang digadang-gadang mampu membuatnya tenang di situasi seperti ini.

"Ngomong aja, kalo lo nggak ngomong, mana bisa dia pelan-pelan nerima Candra dan nggak perlakuin anak itu kayak binatang," kata David.

Entah keberapa kalinya Sartena menghela napas. "Gue ke sini mau kasih tahu lo, habis ini, gue mau pergi ke Kalimantan. Adek gue nikah. Gue mau ajak anak-anak, tapi mereka harus sekolah. Jadi, gue minta tolong jagain Candra ya? Kalo dia mau, ajak nginep di rumah lo aja. Gue takut mental dia rusak kalo sama Ahsita terus. Apalagi nggak ada gue."

"Hah? Kapan?"

"Habis ini. Jam tiga sore mungkin. Nggak akan lama kok, paling cuma seminggu aja. Gue titip anak gue, ya?"

David mengangguk. "Iya, nanti gue suruh Januar ngajak Candra nginep di rumah gue. Lo naik apa ke sana?"

"Pesawat aja, biar cepet."

David mengangguk paham. "Gue janji bakal jagain Candra."

🕊🕊🕊

Mendengar deru mobil dari bawah sana, Thesa berlari menuju balkon untuk memastikan siapa yang datang. Dan benar, yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. Thesa berlari menuruni anak tangga untuk menyambut Ayahnya dengan setangkai bunga mawar berwarna putih.

Dari balik pintu, Thesa menyambut Ayah dengan senyum canggung.

"Eh, Mbak Thesa? Nggak ada jam kuliah?" tanya Ayah saat menyadari anak perempuannya yang malah ada di rumah, padahal biasanya, Thesa berada di rumah saat matahari sudah tenggelam.

Thesa menggeleng. Lalu menyodorkan setangkai mawar putih kepada Ayah.

"Eh, kenapa ini? Tiba-tiba banget?"

"Thesa sayang Ayah. Jangan tinggalin Thesa ya, Yah..." Suara Thesa bergetar. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun lamanya, Thesa memeluk Ayah sembari menjatuhkan air mata. Wangi Ayah masih sama seperti saat terakhir kali ia memeluk Ayah. Pelukan hangatnya pun masih sangat nyaman rasanya.

Tinta BiruWhere stories live. Discover now