Chapter 6 || Menggambar Kehidupan Seseorang.

453 67 7
                                    

"Pak, saya mau daftar masuk anggota band bisa nggak? Saya bisa main piano, dan gitar, Pak. Saya juga bisa nyanyi. Kalau misal pendaftarannya dibuka untuk saya, saya mau mencoba untuk masuk walau ada seleksinya." Jam istrirahat ini, Candra berada di ruang musik menemui Pak Syukron--pemegang klub musik, ditemani oleh Januar.

"Nggak," jawab Pak Syukron tanpa menatap Candra. "Saya tidak menerima anggota yang cacat. Kamu tahu kan, visual dalam grub band itu perlu. Sedangkan kamu, emang ada visual?"

"Pak, jangan ngadi-ngadi deh. Temen saya ini wajahnya ganteng banget loh. Kayak orang china. Ya kali nggak ada visualnya sama sekali." Itu Januar yang bersuara.

"Kalo Mas kamu yang mau masuk klub band, udah pasti keterima. Wajahnya ganteng, dia nggak cacat, pinter lagi. Udah, sana balik ke kelas, saya nggak mau nerima kamu di klub musik," kata Pak Syukron.

"Pak tapi--"

"Saya bilang nggak ya nggak. Jangan bandel deh kamu!"

"Pak, Candra punya banyak medali emas hasil lomba nyanyi dan main piano loh." Lagi-lagi Januar bersuara membela Candra.

"Nggak peduli!"

"Udah nggak apa-apa. Balik aja, Nu."

"Tapi--"

"Nggak apa-apa."

Januar menghela napas samar, kemudian melajukan kursi roda Candra keluar dari ruang musik. Sepanjang perjalanan, mereka saling diam. Candra yang terlihat sedih, membuat Januar tidak berani mengajak bicara.

"Janu, kok gini banget ya nasib gue, hhh." Akhirnya Candra buka suara setelah beberapa menit lamanya terdiam.

"Ndra, nggak apa-apa. Jadi musisi nggak harus masuk klub musik, kan? Lagian ya, lo kan udah punya banyak alat musik, jadi nggak perlu belajar lagi di sini. Lo udah ahli main alat musik juga, kan? Nanti, kalo ada audisi apa gitu, gue kasih tahu lo. Lo pasti bisa jadi musisi. Jalannya nggak cuma di klub musik aja kok. Jadi, jangan overthinkink, oke?"

"Iya. Lo bener. Tapi yang bikin gue sedih tuh omongan Pak Syukron tadi, Nu. Bikin sakit hati banget..."

"Udah maklumin aja. Orang tua nggak tahu apa-apa mah kalo ngomong emang kayak gitu. Mulutnya nggak pernah disekolahin." Janu tertawa pelan. "Mau ke kantin apa di kelas aja?"

"Lo-nya sendiri mau kemana? Gue ngikut lo aja," ujar Candra.

"Hai Candra, Januar?" Itu suara Marvel, yang datang dengan membawa tas gitar yang tercangklong di atas pundaknya.

Baik Candra maupun Januar, mereka hanya memutar bola mata malas. Januar pun tak menghentikan langkahnya dan terus mendorong kursi roda Candra ke arah kantin.

Marvel mengikuti langkah keduanya. Berjalan dengan langkah sombong, membuat Januar ingin sekali menendang laki-laki itu ke rawa-rawa. Kalau bisa ia tendang ke planet lain saja biar hidupnya tenang karena tidak melihat keberadaan laki-laki itu.

"Gue nggak sengaja denger tadi, lo nggak dibolehin jadi anggota klub musik sama Pak Syukron, ya?" Sekarang Januar berhenti. Ia sudah berancang-ancang ingin menendang Marvel saat ini juga, tapi ia urungkan. Karena ia masih memiliki mimpi, ia tidak ingin mati muda hanya karena bertengkar dengan Marvel.

"Kan gue udah bilang, Candraaaaa. Kalo lo cacat, lo nggak akan pernah bisa jadi anggota klub musik. Jadi, jangan berharap lebih deh. Yang ada nih ya, kalo lo tetep maksa buat ikut, lo pasti nyusahin si Janu. Secara kan, hidup lo kalo di sekolah gantung banget sama dia. Kemana-mana selalu butuhin dia. Jadi ya, nggak usah berharap lebih, oke?" Setelahnya ia berlalu entah kemana.

"Nggak usah lo dengerin. Stress emang tuh orang," kata Janu.

"Gue keknya hina banget ya, Nu?" Candra tertawa. "Lo kalo mau ke kantin, ke sana aja. Gue mau ke kelas."

Tinta BiruWhere stories live. Discover now