Chapter 3 || Matematika Ilmu Yang Mematikan.

773 104 18
                                    

Jangan lupa Vote dulu, oke?


























Januar duduk di depan Ruang Musik sembari menikmati alunan musik yang Candra mainkan. Terdengarnya memang sayup-sayup karena Januar berada di depan, bukan di dalam. Meskipun sayup-sayup, ia bisa mendengar betapa teduh dan tenangnya alunan piano yang Candra mainkan. Diam diam laki-laki itu mengulas senyum, senyum yang terasa sedikit menyakitkan.

"Sakit banget kalo inget kejamnya hidup lo, Can." Januar tersenyum pedih. Salah satu saksi bisu betapa kelamnya hidup sosok Candra Sartena adalah Januar. Mengingat betapa tingginya mimpi Candra sebagai pemain sepak bola, Januar merasa sedih, karena Candra kehilangan satu kakinya, mimpi besar itu dengan tiba-tiba terkubur dalam-dalam saat kecelakaan beberapa tahun lalu merenggut satu kakinya.

Januar, laki-laki itu sangat menyayangi Candra. Terang-terangan ia menunjukkan rasa sayangnya kepada sang sahabat. Ia rela melakukan apa saja agar sahabatnya merasakan bahagia yang sama seperti dirinya. Januar rela berbagi keluarga untuk Candra, agar Candra tetap bisa merasakan kasih sayang yang nyata tentang apa itu keluarga.

Jika Januar terang-terangan menunjukkan rasa sayangnya kepada Candra, Candra tidak. Laki laki itu ogah menunjukkan rasa sayangnya. Bahkan, Januar berpikir bahwa Candra biasa saja saat bersahabat dengannya, maksudnya, tidak ada kesan sayang sedikit pun yang Candra tunjukkan kepadanya. Namun, dibalik sikap Candra yang biasa saja kepada Januar, ia menyimpan rasa sayang yang teramat sangat pada sahabat kecilnya itu. Hanya saja untuk menunjukkannya terhalang rasa gengsi yang tak kalah besarnya dari rasa sayangnya kepada Januar.

Tak lama setelah Januar termenung mendengarkan sayup-sayup alunan piano dengan nada sedih, tiba tiba saja ia merasa kebelet. Ingin berpamitan pada Candra, namun takut malah mengganggu sahabatnya yang tengah memainkan piano. Ia pun memutuskan untuk tidak berpamitan, lagian tidak akan lama kok. Tidak akan sampai sepuluh menit pasti ia sudah kembali lagi.

Di dalam ruangan yang penuh dengan alat musik. Alunan piano masih mengalun dalam ruangan ini. Alunan nada sedih yang sangat Candra sukai. Suasana di luar yang mendung pun turut membuatnya senada dengan alunan piano yang Candra mainkan.

Kapan nih jadi pianis terkenalnya? Nggak sabar pengen buat Bunda senyum, haha. Mungkin nggak ya Bunda senyum? Jangankan senyum, datangnya gimana? Mau nggak ya nanti? Aishh, kenapa harus jadi anak nakal sih, jadinya kan Bunda benci.. batin Candra sembari terus menekan keyboadr piano dengan alunan nada yang teduh.

Tengg!

Candra menekan asal keyboard piano hingga menimbulkan suara yang tidak enak didengar. Ia teringat betapa bencinya sang Bunda kepada dirinya, itu membuatnya kesal pada diri sendiri, sehingga moodnya untuk bermain musik seketika memburuk.

Candra diam, menatap nanar piano yang ada di depannya. Tiba tiba saja ia teringat sesuatu.

"Bunda.. Candra juara satu lomba menyanyi tingkat Nasional." Dengan wajah yang berseri-seri, Candra yang saat itu berusia 12 tahun tengah melajukan kursi rodanya menghampiri sang Bunda sembari menunjukkan piala yang berbentuk mikrofon dan juga medali kemenangan yang ia dapatkan.

Respon Bunda tidak sama seperti yang Candra inginkan.

"Kamu pikir apa yang bisa kamu banggain dari musik? Sekali pun ada, Bunda tidak akan pernah merasa bangga atas semua pencapaian kamu!"

Membawa dirinya sendiri untuk mengingat masa lalu yang tidak ingin ia ingat, itu seakan membuka luka lama yang hampir membaik.

Ucapan sang Bunda beberapa tahun yang lalu terus mengalun di pikirannya. Membuat mimpi mimpinya seakan mengabur, pergi menjauh dari genggaman dan pandangannya.

Tinta BiruWhere stories live. Discover now