Chapter 5 || Rusak.

495 66 6
                                    

|Hai semuanya, makasih banyak ya kalian udah suka dan sabar nunggu cerita yang jarang up ini.|

|Sebagai ganti karena aku up paling cepat satu bulan sekali, aku mau double update nih. Selamat membaca, yaa...|

|Jangan lupa vote dan komen.|





















Di halaman rumah, tepatnya di samping tanaman-tanaman milik Bunda, Ayah membuat tempat duduk yang sangat lebar dan panjang dari bambu (lincak) yang dinanungi pohon sawo merah besar, membuat suasananya terlihat lebih sejuk, ditambah lagi dengan indahnya pekarangan bunga krokot Bunda yang banyak. Pagi ini, Bunda duduk di sana.

Bunda membenci Candra bukan tanpa alasan. Terkadang, suasana rumah menjadi kacau hanya karena pertengkarannya dengan sang Suami, tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah Candra. Candra tak melakukan kesalahan, hanya saja nama laki-laki itu selalu saja menjadi perbincangan di saat pertengkaran itu ada.
Selalu seperti itu, pertengkaran itu tidak akan berhenti jika tidak ada salah satu yang mengalah.

Suara deru mobil membuat lamunan Bunda buyar, ia menatap pekarangan rumah, di mana ada mobil Ayah yang baru saja mendarat di sana.

Ayah turun dari mobil sembari membawa paper bag dan bucket bunga. Laki-laki itu menghampiri Bunda.

"Sayang?" panggil Ayah.

Bunda tak merespon.

"Maaf," ujar Ayah sembari mendudukkan diri di atas lincak di samping Bunda. "Maaf," katanya sekali lagi.

Lagi-lagi Bunda tak meresponnya.

Ayah menyodorkan paper bag dan bucket bunga kepada Bunda. "Bunda, maaf. Jangan benci Candra gara-gara masalah waktu itu, ya?"

Bunda mendecih setelah itu tertawa. "Kalo kamu kasih aku ini supaya aku nggak benci Candra. Maaf, aku nggak bisa terima. Kamu pikir bisa segampang itu aku maafin Candra? Dia bahkan hampir buat hubungan kita hancur. Harusnya anak itu nggak usah ada."

"Bunda, Candra nggak salah. Kita aja yang--"

"Kalo nggak mau salahin Candra, nggak usah bawa-bawa aku. Kamu salahin diri kamu sendiri aja." Saat Bunda hendak masuk ke dalam rumah, Ayah menahan lengannya.

"Bunda, Ayah minta maaf."

"Aku mau maafin kamu kalo kamu berhenti bilang Candra nggak salah. Kamu nggak ingat, dulu kita benar-benar pernah berada di ambang perpisahan yang menyakitkan gara-gara anak sialan itu? Bisnis kamu juga berkali-kali gagal gara-gara dia loh. Jangan karena dia cacat kamu terus kasihan sama dia!" Setelahnya berlalu menghempaskan tangan Ayah dengan hati yang berapi-api.

"Sayang, tunggu!" Ayah mengejar Bunda, menahan tangannya, kemudian memeluk perempuan kesayangannya itu. "Maaf..."

"Maaf maaf maaf terus yang kamu bilang. Kamu tahu nggak selama ini aku terluka?!" Suara Bunda bergetar menahan tangis.

Ayah tak menjawab apa-apa. Hanya semakin mempererat pelukannya.

"Yah, udah. Sampai sini aja, ya?"

"M-maksud kamu?"

"Kita pisah."

"Kamu ngomong apa?! Kamu nggak pikirin anak-anak? Kamu jangan cuma pikirin diri kamu sendiri, Ahista. Ini bukan masalah besar. Kalau kamu bisa menerima Candra, semuanya nggak akan kayak gini." Ayah melepas pelukannya. Terlihat gurat wajah kecewa dari inci wajahnya.

"Gimana aku bisa nerima Candra kalo kamu terus-terusan sepesialin dia, Mas? Kau bahkan lebih sayang sama Candra daripada Thesa sama Jendra." Bunda menggeleng tak percaya mengingat betapa sayangnya Sartena pada Candra.

Tinta BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang