Chapter 10 || Ternyata Begini Rasanya Kehilangan

428 52 11
                                    

Sebelumnya, Candra belum pernah merasakan kehilangan sedalam ini. Kepergian Ayah tentu adalah takdir Tuhan, tapi kenapa seolah-oleh dunia membuat dia yang paling bersalah atas takdir ini? Terkadang, mereka yang terlihat kuat, bisa terlihat menyedihkan saat sudah dihadapkan secara nyata takdir yang menyakitkan. Tidak hanya Candra yang terluka, dia tidak terluka sendirian. Mereka semua juga kehilangan. Tapi Candra tidak suka dengan luka yang satu ini. Ini sangat menyakitkan.

Candra duduk termenung di tepi ranjang, memandang kosong berbagai alat musik pemberian Ayah. "Kalau nggak ada Ayah, Candra gimana? Apa nanti mimpi Candra terus berjalan?" Matanya berkaca-kaca. Ia bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi ke depannya. Candra tidak ingin terpuruk dalam kesedihan yang lama, tapi semuanya seakan meminta Candra untuk bersedih saja. Hidupnya yang kelam tidak pantas untuk dibaduti, ia lebih baik bersedih dari pada membohongi diri sendiri.

Karena Candra tidak suka membohongi diri sendiri.

Candra berjalan menuju meja belajar, meraih berbagai macam bolpoin koleksinya. Satu fakta tentang Candra, selain menyukai musik, ia juga menyukai bolpoin, berbagai jenis bolpoin ia koleksi, dari mulai yang berbentuk formal, sayur-sayuran di bandulnya, tiga beruang dan ada juga dengan bandul boneka BT21 yang ia dapat dari tetangga Januar yang masih kecil dan sangat menggemari anggota Boy Band asal Korea, BTS.

Berbagai bentuknya unik dan tak sama. Namun, isi tintanya, semua berwarna biru. Kecuali bolpoin yang ia terima dari orang lain. Tidak ada alasan untuk itu. Ia hanya nyaman saja menulis dengan tinta berwarna biru. Karena dengan tinta warna biru, ia cenderung lebih fokus ketika belajar. Entah mengapa bisa seperti itu, dia sendiri tidak tahu.

Memiliki banyak sekali bolpoin, bukan berarti Candra adalah sosok penulis sajak, puisi ataupun karangan cerita. Ia suka menulis. Menulis biasa, hanya tentang kesehariannya saat berada di dunia.

Candra bukan tipe manusia yang bisa dengan gamblang mencurahkan isi hatinya pada manusia lainnya. Dia tidak bisa sepercaya itu pada siapapun, Januar sekalipun. Padahal Januar sudah membersamainya selama kurang lebih sepuluh tahun, tapi Candra masih tidak bisa berbagi isi hatinya pada sahabatnya itu. Bukan apa-apa, takut saja jika suatu saat nanti mereka bermusuhan, lalu Januar akan menyebar luaskan semua rahasianya. Ya tidak mungkin sih. Tapi kan siapa tahu.

Candra memandangi bolpoin yang ada di dalam kotak pena. Ada rasa tidak siap untuk ia menuliskan semua isi hatinya. Takut jika nantinya ia akan tersakiti lagi. Tapi, jika ia tidak menulis, kepada siapa ia akan bercerita tentang yang telah terjadi kemarin dan hari ini?

Ia menghela napas panjang. Lalu pandangannya menyorot kotak sepatu yang ia letakkan di bawah meja belajar. Candra meraihnya. "Oh iya, ini hari ulang tahun Mbak Thesa kan ya?" Mendadak rasa sakit kembali menyelimuti hatinya.

"Mbak Thesa.."

Bagaimana dengan Kakak perempuannya? Thesa pasti lebih terluka dari pada dirinya. Ini adalah hari yang seharusnya sepesial untuknya, tapi malah luka yang ia dapatkan.

Candra berjalan keluar kamar untuk menuju kamar Thesa. Dilihatnya kamar Kakaknya itu tertutup. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis yang menyakitkan dari dalam sana. Tangannya yang hendak mengetuk pintu, ia turunkan kembali. Ia rasa, Thesa memerlukan waktu untuk bsersedih.

"Mbak, maafin aku." Candra menerawang pintu kamar Kakaknya itu dengan pandangan kosong. "Selamat ulang tahun yang ke-dua puluh satu ya, mbak. Semoga di tahun ini, di tahun tanpa ayah, mbak Thesa bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi. Semoga mbak Thesa bahagia selalu. Sekali lagi, selamat ulang tahun..." lirihnya dengan suara yang parau. Lalu, ketika tangannya benar-benar hendak mengetuk pintu, ia terlebih dulu terperanjat kaget sebab pintu Thesa terbuka. Dan memperlihatkan sosok Thesa dengan penampilan yang kacau.

Tinta BiruWhere stories live. Discover now