Chapter 9 || Dan, Selamat Jalan, Pahlawanku.

525 71 7
                                    

Happy reading.....




Siang ini, matahari tak secerah hati para keluarga yang sedang berduka sebab diperlihatkan secara nyata, terpal dengan banyaknya barang-barang korban dan beberapa potongan tubuh yang sudah digaris polisikan.

"Mas, itu kayak baju Ayah, kan?" tanya Candra. Ia melihat kemeja berwarna hitam dan abu-abu yang ia yakini itu adalah milik Ayah. Baju pemberiannya untuk kado ulang tahun sang Ayah tahun kemarin.

Kabarnya, sampai saat ini Ayah belum ditemukan. Pancarian masih terus dilakukan, do'a pun tak berhenti mereka panjatkan. Dunia Candra seakan hancur, semuanya terasa gelap seperti saat-saat ia terpukul sebab kehilangan satu kakinya. Tapi ini lebih sakit.

"Om, Ayah pasti kedinginan di sana. Ayah pasti nangis sekarang, Om. Ayah harus selamat. Ayah harus segera diselamatkan." Jendra meraung-raung di dalam pelukan David. Laki-laki itu terlihat hancur sehancur hancurnya.

"Ayah pasti selamat, Jendra." David mempererat pelukannya pada Jendra. Mengusap punggung laki-laki yang tengah terluka. Tak bisa dipungkiri, hati David juga merasakan sakit yang begitu dalam melihat mereka yang terluka sekarang. Namun, ia menahan agar tidak menangis agar bisa menguatkan hati mereka yang sedang kehilangan.

Sementara Ahista sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Saat David memberinya kabar buruk ini, ia sama sekali tak memberikan respon. Kendati demikian, hatinya sama hancurnya seperti mereka. Dia juga merasa kehilangan, hanya saja tidak bisa menyampaikan rasa sakitnya dengan tindakan emosional. Saat ini, perempuan itu tengah memandang laut dengan pandangan kosong.

"Kamu pasti bisa, sayang. Kamu harus kembali demi anak-anak." Ahista tersenyum pasi. "Kamu kuat, kamu pasti bisa. Ayo---kembali..." Lalu perempuan itu akhirnya menangis, menutup wajahnya dengan perasaan hampa. Kemudian tak lama setelahnya, Ahista hilang kesadaran, perempuan itu pingsan.

"Bunda!" Dengan cepat Thesa meraih tubuh Ahista, membawa perempuan itu kepelukannya. "Bunda harus kuat, Ayah pasti selamat!"

"Ini semua gara-gara lo! Kalo aja lo nggak minta Ayah buat pulang cepet, Ayah pasti masih ada sekarang!" Suatu hal yang tak pernah Candra sangka sebelumnya, Jendra marah kepadanya. Sorot mata Kakak laki-lakinya itu mengartikan kebencian. Jika saja David tak menahan, Candra pasti sudah kesakitan sebab kena pukul Jendra.

"Om, lepas! Dia harus dikasih pelajaran! Dia udah bunuh Ayah. DIA PEMBUNUH, OM!" Tangisnya semakin pecah. Matanya yang sudah sembab sejak kemarin, bertambah lagi semakin sembab karena tak bisa menahan rasa sakit hati yang membelenggu di sana.

Januar mengajak Candra untuk pergi dari tempat ini. Laki-laki itu menuntun Candra berjalan sebab sahabatnya itu sudah sangat lemas. Januar mengajak Candra duduk di tempat yang ada di dekat pelabuhan.

"Tunggu di sini bentar, gue beliin lo minum." Januar beranjak pergi meninggalkan Candra.

Selepas kepergian Januar, Candra memukul dadanya berulang kali. Sesak. Rasanya sangat sakit. Lalu, tangannya beralih memukul kepalanya. Ucapan Jendra yang teringang di kepalanya lah yang membuat Candra melakukan itu. Candra tidak ingin kehilangan Ayah, tapi ia sendiri yang membuat Ayah menghilang.

"Maafin Candra, Mas. Harusnya Candra nggak suruh Ayah pulang, harusnya Candra nggak egois, harusnya Candra--"

"Jangan ngomong yang aneh-aneh, lo cuma perlu waktu dan do'a, Candra!" Januar mengurungkan niatnya untuk pergi, ia segera kembali saat dari kejauhan tanpa sengaja melihat Candra memukuli dadanya cukup keras. Januar menahan tangan Candra agar laki-laki itu tak melukai dirinya sendiri.

"Tapi harusnya gue nggak suruh Ayah pulang, Nu. Gue goblok, gue egois, gue emang nggak tahu diri... dan satu lagi, gue pembunuh."

"Kalo lo bilang lo itu pembunuh, secara nggak langsung lo juga beranggapan kalo ayah lo udah mati. Lo nggak boleh kayak gitu. Lo harus yakin kalo ayah lo selamat!" bentak Januar ketika Candra meronta-ronta minta dilepaskan.

Tinta BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang