Chapter 4 || Hujan di Sore yang Penuh Luka.

594 77 16
                                    

Dengan senyum indah yang mengembang di bibir Candra, laki-laki itu masuk ke dalam rumah dengan membawa paper bag berisikan vas sekaligus bunga. Senyumnya semakin mengembang saat melihat Bunda ada di rumah, bersih-bersih rumah seperti ibu-ibu pada umumnya.

Yang membuat Candra kagum, Bunda tetap melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya seorang Ibu. Bunda merawat rumah dengan baik meski sibuknya bukan kepalang, Bunda merawat anak-anaknya dengan sayang--minus Candra, Bunda juga tak pernah merasa tinggi karena posisinya yang saat ini menjadi pemilik Perusahaan Kosmetik, Bunda selalu bersikap rendah hati. Tak salah Ayah memilih Bunda.

"Assalamualaikum," ujar Candra dan Jendra secara bersamaan.

Mereka berdua menyalami Bunda bergantian.

Bunda tersenyum, ia mengusap surai kelam Jendra dengan lembut. "Gimana sekolahnya hari ini?" tanya Bunda.

"Biasa aja, ya kayak hari-hari sebelumnya." Jendra menjawab dengan senyum yang tak kalah indah.

"Ya udah, sana makan. Bunda udah masak sayur bening sama ayam tadi. Cuci tangan, cuci kaki dan ganti baju dulu." Bunda lanjut menyapu.

"Bunda, maafin Candra soal tadi pagi, ya? Ini, Candra ganti vas bunga Bunda dengan yang baru." Candra menjulurkan paper bag berwarna merah muda itu kepada Bunda.

Bunda tak menatap Candra. "Sana ganti baju. Makan. Jangan buat Bunda marah lagi sama kamu," ujar Bunda dengan nada dingin yang selalu berhasil membuat Candra merinding.

"Bunda, diterima, ya? Biar Candra nggak dihantui rasa bersalah terus."

"Kamu mau Bunda marah lagi? Jangan pancing emosi Bunda. Sana masuk kamar!"

Candra meletakkan paper bag itu di samping televisi. Kemudian masuk ke dalam kamar dengan hati yang lara. Sejujurnya ia juga ingin disambut hangat seperti Jendra tadi. Terkadang, Candra merasa dirinya terlalu abu di sini. Begini, jika memang hadirnya tidak diinginkan, kenapa dia harus ada?

"Apa jangan-jangan gue anak yang nggak disengaja, ya? Gue sama Mas Jendra kan cuma jarak setahun. Mungkin waktu itu Bunda mau gugurin, tapi nggak dibolehin sama Ayah," gumam Candra sembari melepas seragamnya dan mengganti dengan kaos berwarna hitam.

🕊🕊🕊

Di meja makan, acara makan siang berjalan sebagaimana mestinya. Ada obrolan receh yang keluar dari mulut Jendra, bagaimana laki-laki itu menceritakan teman sebangkunya yang kesurupan karena seusai pelajaran olahraga malah mampir ke sawah cari kecebong, alhasil hantunya ngikut dan merasuki teman sebangkunya itu. Namun, makan siang kali ini ada yang kurang sebab tidak adanya Ayah dan Thesa. Kedua manusia itu sedang dibuat sibuk dengan dunia luarnya.

"Serius, aku merinding banget tadi. Mana yang ngerasuki tuh mbak-mbak lagi. Tambah ngeri." Jendra berbicara saat mulutnya penuh dengan ayam goreng.

"Ditelen dulu, Mas. Baru cerita," ujar Bunda.

"Terus Bun, aku langsung pindah saat itu juga. Nggak mau aku sebangku sama dia. Mana tadi cebong yang dia tangkep berceceran di meja aku lagi! Ngeselin emang tuh anak! Masa kecilnya kurang bahagia deh kayaknya."

"Terus dia sadarnya gimana, Mas?" Candra menyahut dengan wajah ingin tahu, setelah sedari tadi hanya diam mendengarkan Kakaknya berceloteh panjang.

"Tadi sama Nana langsung dipanggilin Pak Qomar, guru agama. Wahhhhh, demitnya malah mencak-mencak. Katanya dia suka sama--- uhukk uhukk." Jendra tersedak. Di tenggorokannya rasanya sangat sakit, seprtinya ia tersedak duri ikan gurame.

Tinta BiruWhere stories live. Discover now