Kenangan

23 8 2
                                    

Napas Sandi tersengal-sengal. Lelaki itu sudah lama mengidap penyakit Asma. Karena penyakit yang diderita sang ayah, tak jarang, Loly banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedari kecil, gadis itu sudah terbiasa mengamen di pinggir jalan sepulang sekolah.

Bukan sekali Sandi melarangnya mengamen. Akan tetapi, tekad kuat Loly yang ingin meringankan beban sang ayahlah yang tidak bisa menghentikannya. Bukan karena ia tidak mau menuruti perintah ayahnya. Sama sekali bukan. Justru karena rasa bakti dan tulusnya cinta yang dimiliki gadis itu memaksa ia untuk terus melangkah, menyusuri pengendara motor dan mobil pada saat berhenti disebabkan lampu merah.

Di perempatan pemberhentian Rawamangun, Jakarta Utara, Loly mencoba mengadu nasib untuk mendapatkan uang receh. Berharap ia dan ayahnya dapat makan sehari dua kali juga untuk membeli buku di sekolah.

"Tuhan bila masih
'Ku diberi kesempatan
Izinkan aku untuk mencintainya
Namun, bila waktuku
Telah habis dengannya
Biar cinta hidup s'kali ini saja."

Tembang demi tembang lagu terlantun begitu menyayat hati. Disertai dengan tepukan tangan yang Loly dendangkan untuk mengiringi irama nyanyian. Tak jarang, pengendara motor dan mobil memberikan uang sebagai tanda terima kasih karena telah menghibur mereka, melepas penat sepulang dari tempat kerja. Tetapi, tidak jarang pula dari mereka yang mencaci dan membentak karena merasa terganggu.

"Kenapa harus ngamen di sini? Berisik tau! Tau enggak berisik? Ngeganggu aja!"

Loly hanya membalas dengan anggukan dan tersenyum simpul. Andai saja seorang perempuan yang seharusnya dipanggil dengan julukan 'Mama' itu masih ada di sini. Tentu hidupnya tidak akan semenyedihkan ini.

Gadis itu biasanya mengamen sampai pukul lima sore. Namun, untuk kali ini, entah mengapa rasanya ia sangat ingin segera pulang. Dengan langkah tergesa-gesa perempuan itu mengayunkan kakinya. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di kontrakan kumuh, yang sudah ditinggali sekitar empat belas tahun silam bersama sang ayah.

"As-salāmu'alaikum, Ayah. Loly pulang." Tidak terdengar jawaban salam dari sang ayah. Suara batuk yang sudah mirip seperti suara kodok pun tidak lagi terdengar. Ke manakah Sandi? Gadis itu pun melewati satu petak ruang tamu menuju kamar yang hanya ditutupi oleh kain jarik. Ya, kain itu sengaja digunakan penutup sebagai pengganti daun pintu kamar yang memang sedari awal mereka tinggal di sana pun sengaja tidak dipasang.

"Supaya enggak terlalu dingin," begitu kata Sandi saat anaknya menanyakan perihal kain yang menutupi kamar mereka. Dulu, saat Loly masih menginjak bangku sekolah kelas satu SD.

"Ayah? Loly pulang, Yah." Air mata mulai menetes dari sudut manik coklat Loly. Kekhawatiran menyeruak masuk, membuat gadis itu kalap. Segera ia menyingkap kain jarik yang menghalanginya untuk masuk ke kamar.

"Ayah?!" Tampak sang ayah terlihat tenang, biasanya napasnya tersengal-sengal walaupun sedang tertidur. Dipeganginya pergelangan tangan Sandi.

"Enggak mungkin, Ayah! Loly masih butuh Ayah. Jangan tinggalin Loly sendiri, Yah."

Tangisnya pun pecah, beberapa tetangga yang tinggal di kontrakan kumuh itu pun menghampiri dari segala penjuru. Kontrakan yang tidak difasilitasi dengan daun pintu, dindingnya pun hanya terbuat dari bilik, membuat perbincangan anggota keluarga satu dengan lain dapat dengan mudah terdengar oleh penghuni kontrakan sebelah kanan, kiri, depan, belakang. Bahkan beberapa penghuni yang letaknya agak jauh pun masih mendengar tangis Loly yang histeris.

"Loly kenapa? Kenapa nangis, Sayang?" tanya seorang tetangga, ibu paruh baya yang memang seringkali membantu dirinya dan sang ayah ketika membutuhkan pertolongan.

Tetangga yang lain terdiam, mungkin karena pertanyaannya sudah terwakilkan oleh si Nenek tadi. Mereka hanya menjadi penonton ketika dua orang di hadapan sedang bercengkrama.

"Ayah, Nek. Entah kenapa denyut nadi Ayah sudah tidak ada sekarang. Padahal, tadi pagi masih ngobrol sama Loly."

Bahunya terguncang, tangisnya pecah. Hanya Sandi yang Loly punya saat ini. Lelaki itu tak pernah kehabisan akal untuk membuat anak gadisnya tersenyum, walaupun keterbatasan ekonomi menimpa hidup mereka. Letak kebahagiaan memang tidak selalu ada pada harta yang berlimpah.

Dingin, itu yang Loly rasakan. Entah apa yang akan membuatnya tetap semangat menjalani hidup setelah Sandi tiada. Untuk apa hidupnya terus berlanjut jika sudah tidak ada lagi yang bisa menghibur dan membahagiakannya? Ah, takdir memang sangat senang berjenaka. Seharusnya ia sudah cukup puas mengambil perempuan itu dari hidupnya. Kenapa sekarang justru satu-satunya lelaki yang ia punya pun ikut direnggut? Kenapa tidak sekalian saja renggut Loly dan Sandi dalam waktu yang bersamaan, agar kesunyian dan rasa dingin tidak lagi menjalar menyebar ke setiap penjuru tubuhnya?

Tetangga yang lain pun ikut mendekat, walau tidak semuanya bisa masuk ke dalam kontrakan yang luasnya hanya 3x5 meter itu. Beberapa di antara mereka mengusap pundak Loly, memeluk dan menenangkan gadis itu, memberikan semangat walau mereka tahu pasti, mengembalikan keceriaan gadis yang sedang berduka tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Paper HeartsWhere stories live. Discover now