Hampa

22 7 2
                                    

Selepas kepergian Sandi, Loly lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun. Betapa kejamnya takdir hidup gadis itu, seolah-olah tidak pernah mengizinkan gadis itu mengecap kebahagiaan bersama sang ayah lebih lama lagi. Buktinya, dengan sangat tega dan tanpa berbelaskasihan, takdir kembali merenggut seseorang yang amat sangat berharga setelah ibunya itu. Bagi Loly, sandi merupakan kebahagiannya, jantung hidupnya. Ah, sudahlah, andaikan laki-laki itu masih ada dan duduk bercengkrama dengannya, sudah pasti hidupnya tidak seberat hari ini.

"Aku rindu, Yah. Bisakah kita bertemu walupun hanya dalam mimpi?"

Loly mulai bermonolog. Ia bahkan kehabisan cara membujuk mulutnya agar tidak selalu mengerucut. Setidaknya sedikit mengulas senyum agar memperlihatkan bahwa ia tidak terlalu tenggelam dalam duka kehilangan. Namun, segala upaya yang dilakukannya selalu gagal.

Sebagian uang yang dulu selalu Loly sisihkan untuk pengobatan sang ayah, selalu ia gunakan untuk memanjakan kehendak hatinya. Membeli es krim misalnya. Biasanya, ketika Sandi masih ada, es krim adalah senjata paling ampuh untuk menenangkan hati dan pikiran yang sedang kalut. Tetapi, tidak dengan sekarang, ketika gadis itu membeli es krim untuk menyenangkan hati, justru air mata malah dengan derasnya menetes. Iya, terlalu banyak kenangan indah bersama ibu dan ayahnya yang tertuang dalam kisah es krim ini.

Tadi siang, ia membeli es krim di warung terdekat. Tanpa disangka, Loly bertemu dengan sosok perempuan yang selama ini dicarinya. Tepat seminggu sebelum Sandi meninggalkan gadis itu untuk selamanya, lelaki itu memberikan siluet foto, seorang perempuan yang sedang tersenyum manis menghadap kamera. Bahkan Loly sendiri pun tidak mengenali wajahnya. Karena pertemuan terakhir pun ia tak sama sekali tak mengingatnya.

"Haruskah aku mencari ibu lagi? Tapi, apakah ibu tidak akan malu dengan keadaanku yang sekarang? Apakah ia mau mengakuiku sebagai anak? Apakah kasih sayangnya untukku akan sama seperti kasih sayang ibu pada umumnya? Lantas, mengapa ibu dulu meninggalkan aku dan Ayah? Apakah karena sudah tidak sayang sama aku dan Ayah dulu?"

Loly kembali bermonolog. Rasa rindu kepada Sandi dengan sejuta pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibirnya, membuat ia merasa kebingungan. Kepada siapa ia harus menanyakan semua hal yang belum ia ketahui?

Tak bisakah rindu ini sedikit lebih sopan lagi? Bahkan ia tidak memberikan kesempatan kepada sang pelakon kehidupan untuk mengatur kadar yang ada dalam dada. Bahkan, rasanya, rindu yang dirasa, mungkin sebentar lagi akan membunuhnya. Rasa rindu yang mendominasi, yang mulai menggedor-gedor alam bawah sadarnya untuk melakukan hal nekat untuk mengakhiri hidup. Tetapi, untungnya rasa sayang yang dimiliki kepada Sandi, juga keimanan yang melekat di dalam hati, tidak mengizinkannya untuk melakukan hal bodoh tersebut. Setidaknya, Loly tidak akan membiarkan Sandi disiksa atas ulah konyol yang dilakukan.

Dreamlights_

Paper HeartsWhere stories live. Discover now