Berawal dari kisah rumit mama dan papanya, lalu menarik dirinya dalam dilema panjang. Antara kisah lama yang belum usai, atau kisah baru tentang dia.
"Saya bukan penyusup pak, saya calon istri seorang tentara yang hebat. Namanya Galan Putera Maradew...
Keluar dari ruangan dengan baju putih dan rok hitam, Kanza membuang nafas legah. Ujian proposal lima menit yang lalu membuat jantungnya maraton. Ia benar-benar dibuat gerogi apalagi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan padanya. Dua bulan berlalu begitu saja. Sedihnya harus digantikan dengan senyum, karena yang hidup harus menjalankan kehidupannya.
Setelah sesi foto bersama dosen dan teman-temannya Kanza menuju parkiran. Ia harus segera pulang. Senyum di bibirnya melebar saat melihat papanya melambaikan tangannya. Jika mamanya di sini pasti akan merasa cemburu karena papanya begitu tampan.
Mobil yang dikendarai papanya melaju meninggalkan kampus. Ia tahu rasanya berlebihan, papanya begitu posesif dan protektif. Azka pernah diomeli habis-habisan karena sering terlambat mengantarnya pulang. Untung pria irit bicara itu juga keras kepala seperti papanya, tetap melakukan hal yang sama. Kanza menatap bangunan-bangunan tinggi yang dilewati.
"Aza sakit?" Sontak Kanza membuka matanya dan menatap penuh ke arah papanya yang terlihat kahwatir. Senyum lebar dan gelengan kepala dari Kanza membuat Hiro membuang nafas legah.
Mobil hitam papanya terparkir di depan rumahnya. Kanza berbalik menatap rumah Galan. Ada banyak mobil, mungkin saja oma dan opa Galan serta keluarga besar Maradewa yang datang. Lagian sudah tiga bulan Galan meninggal. Sore nanti ia akan membawa mawar putih seperti biasanya.
Kanza merasa aneh dengan ucapan selamat dari mamanya. Aneh, ia baru proposal belum skripsi.
"Lama banget sih kak!" Kanza melototi Akio yang memberi protes. Sejak mama dan papanya berasatu kembali, Akio yang dingin berubah hangat dan menyebalkan.
"Akio!" Mendapat peringatan dari papanya Akio mencibir. Kanza hanya meleletkan lidahnya. Ia tahu adiknya sedang kesal karena sampai detik ini ia ke sekolah diantar supir dan parahnya motor dan kartu ATM Akio masih disita. Kelewatan bandel, sebenarnya ia kasihan tapi senang juga. Adiknya belum tahu saja jika diluar sangat berbahaya. Papa dan mamanya punya alasan kuat melakukan hal ini. Apalagi saat ia hilang bertahun-tahun lamanya.
Kanza makan dengan lahap. Ia merasa lelah dengan hidupnya. Kapan ia akan bahagia? Kapan Tuhan tidak mempermainkan hidupnya lagi? Satu tetes air mata jatuh di pipihnya. Ia tidak ingin menangis hanya saja semua luka batin itu menumpuk di hatinya. Menahan sesak selama tiga bulan belakangan ini membuatnya hampir gila. Ia melakukan apapun untuk menghilangkan kesedihannya tapi tetap tak bisa.
* Rega menatap foto pria yang tak asing. CCTV menunjukkan mobil yang sama melewati TKP, dan menurutnya itu bukan kebetulan. Sudah tiga bulan dan kasus ini belum terpecahkan. Banyak kritik yang didapatkan. Ia yakin pembunuh dua perempuan itu bukan orang biasa. Tapi yang membuat ia tak percaya adalah sosok pria yang akan dipanggil ke kantor polisi. Pria yang ia kenali.
"Ga, ada yang aneh dengan perempuan tanpa identitas itu."
Rega menatap Angga salah satu anggota timnya.
"Dia sudah sadar tapi tidak tahu identitasnya."
Rega mengerutkan keningnya, perempuan yang menjadi korban kriminal itu tak tahu identitasnya sendiri. Bukankah itu aneh?
"Lalu bagaiamana dengan hasil Ct scannya?"
Rega menatap penasaran Angga.
"Tidak ada yang salah, tidak ada keretakan dan tidak ada amnesia. Tapi yang lebih mengejutkan." Angga menghentikan kalimatnya.
Rega makin penasaran, sejenak ia melupakan kasus yang sedang diselidiki.
"Terdapat obat-obat terlarang didarahnya." Rega mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu dari tiga bulan yang lalu.
"Bedanya, obat itu yang membuat ia hilang ingatan, bukankah itu aneh."
Rega mengangguk paham. Jika benar seperti itu, maka perempuan tanpa identitas itu dipaksa untuk menghilangkan ingatannya. Dan nomor pada kakinya? Rega mengerutkan keningnya. Bukankah itu seperti simbol yang penting?
Rega mengambil kunci mobilnya lalu berlari pergi. Bahkan mengabaikan Angga yang meneriaki namanya.
"Ais, dia selalu begitu." Angga kembali duduk, ia tahu Rega selalu aneh ketika menemukan sesuatu.
Menghidupkan mesin mobilnya, Rega melajukan mobilnya. Orang yang harus ia temui adalah papanya.
** Kanza mematutkan tubuhnya dicermin. Ia tumbuh dengan baik. Gaun putih panjang berlengan pendek melekat di tubuhnya. Entah kapan ia menjadi sefeminim ini. Yang pastinya saat keluarganya bersatu. Ia mendapat kehangatan keluarga dan cinta? Kanza membuang nafas kasar. Sejenak memejamkan matanya. Jika ia mengingat kata cinta, ia akan mengingat Galan. Kanza menatap setangkai mawar putih di atas meja riasnya. Entah sudah berapa banyak bunga yang ia berikan. Menuruni tangga sambil membawa setangkai bunga adalah kebiasaan Kanza. Akio yang berdiri di depan kamarnya hanya mendesah. Ia bersikap kekanakan hanya untuk membuat kakaknya melupakan sedihnya. Sore hari akan menjadi hari kesedihan untuk Kanza. Jika ia ingin kurang ajar, ia pasti sudah mengatakan kakaknya gila. Mereka bilang cinta itu gila, benar cinta bisa buat pikiran kakaknya tak waras. Ia harus mengawasi kakaknya, sedangkan papa dan mamanya pergi ke acara bisnis teman papanya.
Seperti biasa Kanza pergi ke belakang rumah Galan. Pembantu rumwh Galan ingin mengatakan sesuatu, tapi Kanza telah berlalu ke belakang. Rumah Galan seperti rumahnya sendiri. Sejak pindah tante Ningrum selalu menganggapnya anak.
Sambil membawa setangkai bunga, Kanza terus melangkahkan kaki mungilnya ke Taman belakang rumah Galan. Terdengar suara tawa orang-orang. Kanza pikir keluarga Galan sedang berkumpul, tak masalah ia akan pulang setelah meletakkan mawar putih itu. Semakin dekat kaki Kanza terasa mengeras dan mati rasa. Matanya masih menatap sosok yang sedang membelakanginya. Ia begitu kenal dengan postur tubuh itu.
Bunyi pecahan gelas terdengar. Kanza menatap tante Ningrum yang juga menatapnya syok. Sontak keluarga besar Galan juga menatap Kanza. Sedangkan pria yang membelakanginya berbalik. Satu tetes air mata jatuh di pipih Kanza. Bunga ditangannya jatuh. Angin sore hari meniup gaun putihnya, rambutnya bergelombang diterpa angin. Pria yang sangat ia rindukan. Pria yang tiga bulan ini membuat ia hampir gila dan merasa bersalah. Kanza dan Galan masih saling tatap dengan pandangan berbeda.
"Sayang, apa yang sedang terjadi, apa dia adikmu?"
Kanza menatap Galan dengan penuh air mata. Matanya menatap perempuang cantik yang sedang menggandeng bahu Galan dengan mesrah.
"Aku tak mengenalnya."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.