Prolog 0.2

679 63 2
                                    

tw // mention of suicide

Albar langsung berlari begitu Mbak Wik, asisten rumah tangganya dengan panik mengatakan bahwa adiknya tak kunjung keluar dari kamar mandi dan sama sekali tak ada sahutan ketika Mbak Wik berulang kali memanggilnya. Mereka pasti mempunyai ketakutan yang sama, bahwa gadis itu akan menyakiti dirinya lagi. Pintu kamar mandi di dalam kamar Kiran digedornya dengan keras, memanggil nama adiknya berharap ada suara apapun dari dalam tapi nihil. Maka ia mendorongkan dirinya sekuat tenaga, berusaha membuka pintu itu dengan paksa.

Dan ia menemukan adiknya yang sudah menenggelamkan diri di dalam bath-up dengan keran menyala yang membuat airnya selalu penuh dan tumpah.

Tubuh adiknya sudah dingin dan pucat begitu ia mengangkatnya dan melakukan pertolongan pertama sekuat yang ia bisa, menekan diafragma dengan tautan telapak tangannya berharap Kiran masih bisa diselamatkan.

Mbak Wik tanpa diminta langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelepon ambulans dengan tangan gemetar dan panik. Dan sebelum ia dapat melakukannya, tubuhnya langsung terduduk lemas begitu Kiran membatukkan banyak air keluar dari mulutnya. Perasaannya lega dan penuh syukur melihat Kiran yang masih bisa menggerakkan tubuhnya setelah itu, ia selamat sekali lagi.

***

Dokter baru saja selesai mengecek keadaan Kiran yang kini sedang menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Ia terlihat masih cukup baik-baik saja setelah membuat adrenalin Albar menggebu. Jika saja ia terlambat sebentar, ia tak tahu adiknya masih bisa membuka matanya atau tidak. Ia sebelumnya sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan memalingkan perhatiannya dari Kiran, tapi kali ini ia lengah dan merasa lalai menjaga adik yang keadaan psikologisnya sedang sangat tidak stabil itu.

"Mbak Wik, Saya kunci kamar mandinya, kalau Kiran mau ke kamar mandi tolong temani ke kamar mandi luar. Jangan sampai Kiran sendirian, takutnya dia bakal ngelakuin hal yang nggak-nggak lagi."

Sebenarnya tidak hanya kali ini Kiran mencoba menyakiti dirinya. Kamar Kiran kini sangat kosong, tak ada benda apapun karena sebelumnya ia mencoba melukai tubuhnya dengan apapun yang ada. Jendela dipaku rapat agar ia tidak mencoba melompat dari lantai kamarnya. Terlihat noda darah di tembok akibat Kiran yang menghantamkan kepalanya berulang-ulang di sana.

Kini Albar duduk di tepi ranjang, menangkup tangan adik tersayangnya yang semakin kurus, terasa sangat berbeda dari tangan yang biasa ia genggam. Ia membelai rambut adiknya yang kusut dan basah dengan penuh sayang. Albar tak mengatakan apapun, hanya beberapa kali menghela nafas berat dan memandangi Kiran dengan tatapan pilu.

Albar adalah orang yang dingin. Tapi tanpa dia mengungkapkannya pun, semua orang tahu bahwa dia adalah orang yang paling memedulikan Kiran. Dia adalah orang yang menjaga Kiran sejak gadis itu lahir di dunia.

Kiran hanya diam menunduk dengan tatapannya yang kosong, tapi selalu ada sesuatu yang sangat berisik di kepalanya. Memberikannya teriakan bahwa ia selalu saja membuat keluarganya khawatir dan kerepotan. Teriakan bahwa ia hanyalah penambah beban di tengah keadaan keluarganya yang sedang mengalami hal berat bertubi-tubi, dan Kiran membuat semuanya lebih sulit untuk mereka. Jauh lebih sulit karena mereka tak tahu apa yang membuat Kiran seperti ini.

Kiran tak pernah bisa mengatakannya, bahkan kepada psikoterapisnya sekalipun.

Kiran tak pernah bisa memberitahu mereka, mengapa gadis cantik yang selalu ceria itu kini hidup dengan keputusasaan di tengah kasih sayang yang tiada henti keluarganya berikan padanya.

Bahkan ketika Kiran ingin memberitahu semuanya pun, ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, karena setiap Kiran mengingat semua kejadian itu, ia selalu kehilangan seluruh kontrol tubuhnya hingga berakhir menyakiti dirinya sendiri.

Kiran sungguh ingin hidup, setidaknya untuk mereka. Tapi ia merasa hidupnya sudah benar-benar hancur, sampai pada titik di mana ia sendiri tak sudi untuk hidup dengan tubuhnya sendiri.

Maka ia selalu menghukum dirinya dengan melakukan apapun yang menyakiti tubuhnya. Karena hanya dengan itu ia bisa merasa lebih baik.

***

Albar Raegar, 27 y

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Albar Raegar, 27 y.o




Traumatic SceneWhere stories live. Discover now