04 | Never Been Happier

416 59 25
                                    

Jika Kiran harus mendeskripsikan bagaimana kehidupannya di dunia, Kiran tak akan ragu untuk mengatakan bahwa ia sangat bersyukur karena hidupnya selalu diberkahi. Semua hal yang ada pada dirinya begitu ideal, pas, dan lurus.

Pertama, semua orang setuju parasnya sangat cantik. Badannya begitu proporsional dengan lekukan yang bagus, sehingga ia akan terlihat menawan dengan pakaian apapun. Matanya besar meskipun dengan monolid, pipinya tembam dan bulat, ia akan selalu terlihat menggemaskan seperti anak anjing bahkan jika ia hanya diam.

Kedua, Ia dianugerahi bakat bermusik yang luar biasa. Dia bisa memainkan alat musik apapun dan pandai menciptakan lagu. Tidak semua orang bisa mengetahui bakat mereka kan? bahkan tak jarang orang pusing setiap harus menulis kolom bakat & minat di biodata.

Dan ketiga, keluarganya berkecukupan, harmonis, dan hebat. Mereka tak pernah memaksa Kiran untuk mendapatkan peringkat akademis yang bagus di masa sekolahnya, karena mereka tahu bakat Kiran ada di musik. Dan mereka tak melarang sama sekali ketika Kiran memutuskan untuk berkuliah di kampus seni swasta alih-alih mengikuti SNMPTN di universitas negeri ternama seperti teman-temannya. Mungkin karena kampus Kiran saat ini adalah kampus yang sama dengan kakaknya berkuliah dulu, sehingga ia bisa yakin bahwa kampus ini memiliki fakultas seni musik terbaik, terbukti kakaknya kini bisa menjadi produser dan mempunyai dua agensi musik sendiri di Jakarta dan di Surabaya. Hal yang luar biasa dicapai oleh pria dengan umur 27 tahun.

Ngomong-ngomong tentang kakak Kiran, ia adalah orang yang paling menginspirasi Kiran dalam hal apapun, dan Kiran sangat menghormatinya. Ia adalah orang pertama yang selalu mendukung semua langkah Kiran, sehingga Kiran tumbuh menjadi adik yang tak pernah membantahnya karena Kiran tahu bahwa apapun yang ia katakan pasti adalah yang terbaik untuk Kiran.

Tapi ada satu hal yang mengganggu Kiran akhir-akhir ini, tentang kemauan kakaknya yang sepertinya sulit untuk ia penuhi. Tentang lelaki yang kini ia pandangi wajahnya yang semakin terlihat tampan berkat pantulan cahaya bulan. Ia benar-benar sudah jatuh untuk lelaki itu, membuang jauh pikiran-pikiran yang ditanamkan kakaknya bahwa ia adalah orang yang tak seharusnya Kiran dekati.

"Sampai sini aja gapapa kan?"

Tadi, lelaki itu bersikeras mengantarnya sampai ke depan apartemen. Padahal ia bisa menurunkan Kiran di seberang jalan sehingga ia tidak harus turun dari motornya.

"Iya gapapa kok, Kak. Makasih ya udah dianterin. Sampai ketemu besok?"

"Sebentar, Ran..."

"Ya?"

Bobby mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Kiran sekilas, dan menatap lurus mata Kiran yang tepat berada di depannya "i love you...."

"Eh?" Responnya spontan. Masih tidak percaya apa yang ia dengar, dan membuat Bobby terkekeh melihat Kiran yang salah tingkah.

"Aku sayang kamu, Ran." Bobby memperjelasnya sekali lagi. "Sampai besok."

Lelaki itu mundur beberapa langkah, memberikan Kiran senyuman manis khasnya dan berbalik pulang.

Kiran yakin ia belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Di sekelilingnya terasa ada pesta kembang api seperti tahun baru. Bahkan ketika ia masuk ke dalam apartemennya, letupan itu masih ada.

"Bau apa sih ini? OH bau bau orang bucin." Amel menatap heran temannya yang kini duduk di depannya di meja makan, menyangga kedua pipinya dan tersenyum lebar. Amel tidak tau apa yang terjadi, temannya itu sudah dengan senyuman bodohnya sejak ia masuk ke dalam apartemen.

Kiran memekik kesenangan sambil menutupi mukanya dengan telapak tangan, membuat Amel memutar bola matanya lelah.

"Kenapa? Kak Bobby udah nembak lo?"

Traumatic SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang