Chapter 32.

24 3 13
                                    

◂◂ ► Ⅱ ▸▸

Kelas terasa sepi karena ketidakhadiran dari satu orang. Dulu Resta selalu menatapinya dari kejauhan sini, dari pojok kursinya. Namun, sudah hampir lebih dari sebulan ini pemilik kursi yang selalu di tatapi Resta tersebut sudah tak pernah memasuki sekolah lagi.

Ia kini cuma bisa melihatnya diluar dari sekolah. Itu pun juga waktunya tak sebanyak saat Valery masih bersekolah, karena pada saat itu Resta bisa melihatnya hampir setiap hari.

"Mba-mba yang disana senyum-senyum kedemenan diliatin sama lu terus, noh, Res," Aji menyinggung soal Resta yang terus menatap bangku Valery yang kosong.

"Hah?" pada akhirnya yang disinggung mengalihkan pandangannya.

Aji hanya memasang senyumnya saja. Biarlah, Resta tampaknya tak mengerti.

"Chat kek, telpon kek, vc kek kalo lagi kangen," sahut Saddam sambil bermain game di hp-nya.

Resta kemudian menatap layar handphonenya yang mati tergeletak diatas meja. Itu sudah dari kemarin ia lakukan malah, tapi bahkan belum ada tanda kalau Valery telah membacanya. Memang sekarang ia jadi lebih jarang mengecek aplikasi pesannya. Mungkin sekarang di pagi ini juga ia sedang konsultasi rutin ke psikiater.

Aji melihat kawannya yang super kaya tersebut. Sejujurnya, ada sesuatu yang ia ingin katakan kepada Resta, tapi dia merasa tak enak hati untuk membicarakannya. Aji kemudian mengedarkan padangannya pada seisi kelas, lalu terjatuh pada Nabila yang tengah cari perhatian sembari berjalan-jalan dengan wajah yang sok dibuat fun.

Tak jarang, ia melihat perempuan tersebut mencuri-curi lirikan ke Reata. Sesuai dengan pradugaan Aji bahwa benar dia dan Anin bahkan sama sekali tak pernah tampak mengunjungi sahabatnya yang sedang sulit, mau pun saja sepertinya tidak. Ah, iya, ucapan 'sahabat' sepertinya tak sesuai dengan mereka. "Lu masih tertarik sama Nabila, Dam?"

Saddam mengerucutkan kecil bibirnya keatas, "Hmm, gak tahu. Makin kesini gue udah gak begitu minat sama dia."

Entah kenapa bagi Saddam, perempuan yang tengah disinggungnya tersebut sudah terasa beda.

"Res, ada cewek yang nungguin lu tuh di depan," Putra yang  sebelumnya sedang nongkrong-nongkrong di depan koridor datang memanggilnya.

"Siapa?" tanya Aji dan Saddam bersamaan.

"Paling Nadia," Resta berdiri dari duduknya lalu mengeluarkan sebuah liptint dari tasnya.

"Lu belum kelarin urusan lu sama dia?!" tanya Aji terkesan jengah juga.

"Gimana mau kelarin," Resta berjalan keluar dari kursi mejanya, "Bunda gue tetep masih keukeuh."

Dia harus mengembalikkan benda yang tengah digenggamnya ini pada cewek tersebut. Kemarin sehabis mengajaknya jalan-jalan ke perputaskaan dan cafe— yang mana dua tempat tersebut adalah favoritnya Nadia, liptint miliknya tak sengaja tertinggal di dalam mobil Resta.

"Nih."

Suara kedatangan Resta membuat Nadia membalikkan badannya, "Ah, makasih."

"Sama-sama."

Resta baru ingin kembali masuk kedalam kelas sebelum Nadia memanggilnya lagi, "Ehm, ibu gue udah masukin gue ke salah satu Univ di Amrik. Lu jadi ikut juga, kan, Res?"

Amrik? Ah, iya, Resta hampir lupa akan persoalan itu. Selain dari keinginan bundanya yang menguliahkan ia di luar negeri, bundanya juga turut berharap kalau bisa Resta dan Nadia juga berkuliah di kampus yang sama. Resta tak menyangka kalau omongan Nadia di jamuan makan malam yang sudah lewat beberapa hari yang lalu itu adalah serius, bahwa ia nyatanya menuruti kemauan kedua orang tuanya.

ValeryOnde histórias criam vida. Descubra agora