03. Maaf, aku suka Keysa.

431 60 465
                                    

"Jadi kalian putus?"

Tanya Devina padaku. Saat ini kami berada di Mal. Aku memilih tidak masuk kerja sepulang sekolah. Tidak perlu aku jelaskan apa alasannya. Aku merasa terpuruk dan hancur. Aku merasa tidak semangat lagi.

"Iya," jawabku pelan dan letih. Devina menautkan kedua alisnya. "Ya udah, lo jangan layu kaya gitu dong. Cowok bukan cuma Daren kan?" Dia menggenggam tanganku. Devina benar, cowok itu bukan hanya Daren. Tapi cowok yang aku sukai cuma dia. Juga satu satunya cowok yang sudah tahu diriku luar dalam adalah dia.

"Hey! Gue enggak suka Adena yang kaya gini." Devina mengusap pipiku yang basah. Aku bukannya menghentikan tangis ini, tapi malah sesenggukan tidak berdaya.

Aku memang tidak berdaya.

"Adena ...," Devina merangkup kedua sisi wajahku. "Enggak kaya gini, sayang. Daren enggak pantes buat lo tangisin kaya gini."

Iya aku tahu. Tapi semakin Devina memperlakukanku dengan iba. Maka semakin tangis ini pecah tidak tertahankan. Daren telah merusak diriku, dia telah mengambil segalanya dariku. Aku tahu ini terdengar gila dan bodoh. Karena nyatanya setelah Daren mendapatkan semuanya. Dia malah pergi begitu saja.

Dia melupakan semua janjinya.

Tapi apa yang bisa aku lakukan. Ini salahku, aku terlalu mencinta dan memujanya. Aku mengiyakan setiap inginnya Daren terhadap diriku.

Aku bodoh!

"Adena! Jangan bilang sama gue. Kalau lo dan Daren, sudah ...," dia menatapku tajam seolah akan mendapatkan sebuah pesan kematian dariku.

Aku terdiam dan hanya bisa menangis. "Gue cinta sama Daren. Gue enggak bisa nolak dia. Gue dan dia hampir saja. Hampir saja ..., tapi. Tetep aja Na. Gue ini kotor, gue ini bodoh!"

Pilu ini menghanyutkanku. Aku bahkan tidak peduli saat ini sedang berada di mana. Yang aku bisa lakukan saat ini adalah bagaimana caranya rasa sakit ini bisa keluar bersama airmata.

"Daren janji enggak akan ninggalin gue Na ..., gue percaya. Tapi--"

"Tapi dia hianatin lo! Dia malah deketin si Kesya anak TI itu. Dan asal lo tahu, gue pernah liat mereka jalan berdua di Mal ini. Lo masa enggak tahu sih? Lo masa diem aja sih? Di hina kaya gitu!"

"Dia udah mutusin gue ...,"

"Dan lo terima gitu aja, setelah apa yang Daren ambil dari diri lo! Setelah dia nikmatin apa yang dia mau dari lo! Dan lo milih diem aja?!"

"Gue enggak bisa apa apa,"

Devina mendengus kesal. Dia meremas kedua sisi kepalanya sendiri terlihat frustrasi. "Ok, biar gue yang hajar tuh cowok!"

"Enggak, Na. Udah biarin aja. Jangan nambah masalah."

"Gue enggak bisa diem aja lo diperlakuin kaya gitu."

"Enggak akan merubah semuanya Na."

"Minimal gue puas lihat dia babak belur."

"Lo emang bisa puas. Tapi hati gue enggak akan berubah. Gue bakal tetep sakit, dan Daren bakal nyangka gue psikopat. Lalu dia bangga karena dia mikir gue cinta mati sama dia." Dan Devina terdiam. Dan aku pun kembali menunduk. Lalu kami sama sama terdiam dengan pikiran kami masing masing.

Aku sedang terpuruk. Aku tidak mau Daren malah nyakitin Devina hanya karena ingin membalas semua dendam ini. Biarkanlah Daren bahagia dengan gadis barunya. Biarkanlah aku seperti ini. Bukan salah Daren, tapi salahku yang terlalu naif dan terlalu percaya pada sebuah kata cinta.

Cinta yang manis, seperti janji Daren. Namun nyatanya cinta Daren tidak semanis janjinya. Karena jika seandainya cinta Daren itu manis. Maka aku saat ini tidak akan layu dan hancur karena cintanya.

JenuhWhere stories live. Discover now